Kesalahan Memberi Hukum Haram pada Tahlilan

Bagikan Sekarang

HUJJAH ASWAJA — Di Nahdlatul Ulama (NU) ada pembahasan hukum yang disebut Bahtsul Masail. Menurut Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar, pengertian ‘Bahtsu’ adalah:

وضع المحمول للموضوع

“Memberi status hukum yang tepat kepada persoalan”.

Hukum terkadang tidak bisa berlaku general, misalnya bagaimana hukum memakan durian? Hukumnya boleh jika tidak membahayakan kesehatan. Bila memakan durian secara berlebihan dapat menyebabkan naiknya kolesterol hingga menyebabkan stroke maka haram. Jadi memberi status hukum “boleh, wajib, sunah, makruh dan haram”, melihat faktor dari permasalahan.

Demikian pula perkumpulan saat Tahlilan dengan suguhan makanan, tidak serta merta dihukumi makruh atau haram. Tapi dilihat dulu dari siapa makanan itu diberikan. Disini cukup saya kutipkan dari pendapat kalangan Salafi, Syaikh Shaleh yang termasuk Alu Asy-Syaikh (keluarga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang dikutip Syaikh Hisamuddin dalam Fatawa Yas’alunaka 8/31:

فالنياحة تشمل شيئين صنع الطعام مع الاجتماع لماذا؟ لأن أهل الميت هم الذين يصنعون الطعام ويدعون الناس ليقال هذا عزاء فلان إنه أكبر عزاء، أو إنهم اجتمعوا لأجل فلان

Niyahah (meratapi mayit yang dilarang) mencakup 2 hal, yaitu dibuatkan makanan (oleh anak istri mayit) dan perkumpulan. Kenapa? Sebab anak istri mayit yang membuatkan makanan dan mengundang orang-orang agar disebut-sebut “Ini adalah undangan si Fulan. Undangannya paling besar”, atau “Orang-orang berkumpul karena si Fulan”

وهم الذين يتكلفون بصنع الطعام وبنحر الإبل وذبح الذبائح؛ ليكثر من يجتمعوا عليها، هذه النياحة المنهي عنها بالاتفاق أما الاجتماع اجتماع المواساة والعزاء دون صنع الطعام ودون تكلف، فإن هذا لا يدخل في النياحة .أ.هـ كلام الشيخ صالح

Mereka ini adalah orang-orang yang bersusah payah dengan membuat makanan, menyembelih unta dan sembelihan lainnya, agar banyak didatangi oleh orang. Niyahah (meratapi kematian) inilah yang dilarang. Sedangkan perkumpulan untuk menghibur dan takziyah tanpa dibuatkan makanan dan tanpa merepotkan, maka hal ini tidak masuk dalam meratapi kematian. Demikian penjelasan Syaikh Shaleh (keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)

Nah, realitasnya yang membawa dan memberi beras adalah para tetangga, yang datang memberi bantuan uang adalah para sahabatnya, yang memasak adalah kerabat-kerabat jauh dan tetangga sekitar, bukan anak dan istri almarhum. Mereka tidak ikut-ikut, justru mereka yang disuruh untuk makan seperti hadis yang dialami oleh keluarga Ja’far bin Abdul Mutalib, paman Nabi. Dengan demikian 2 alasan keharaman menurut fatwa Syaikh Shaleh dan Syekh Bin Baz (ada di website) tidak terpenuhi dalam pelaksanaan Tahlilan.

Jika di lapangan ada praktek yang tidak sesuai fikih maka tugas kita membimbing mereka. Sementara Salafi langsung pukul rata dihukumi haram dan menutup celah memperbaiki kesalahan.

Demikian penjelasan Ustadz Ma’ruf Khozin, Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur. (Red)

Leave a reply