Tak Perlu Khawatirkan NU

0
733
Bagikan Sekarang

Di Jombang, NU dilahirkan. Kiai sepuh membidaninya dengan penuh kasih sayang. Mereka kiai-kiai semesta, dengan ketawadlu’an tiada tara. Mereka kiai-kiai semesta, yang merasa jabatan tertinggi Rais Aam adalah “petaka”.

Muktamar NU 1971, mBah Wahab, Rais Aam waktu itu, terlalu sepuh dan tak kuasa apapun selain berada di pembaringan. mBah Bisri, sosok yang digadang-gadang sebagai pengganti beliau, hanya tinggal menunggu ketuk palu dan sudah jadi Rais Aam. Apa lacur, sebelum keputusan ditetapkan, mBah Bisri berucap: “Selama masih ada mBah Wahab, saya hanya mau menduduki jabatan di bawah beliau.”

Kemudian mBah Wahab meninggal beberapa hari setelah Muktamar, dan mBah Bisri menjadi pengganti beliau.
Di Jombang, NU dilahirkan. Kiai-kiai sepuh membidaninya dengan penuh harapan. Mereka kiai-kiai semesta, dengan muro’ah & wira’i tiada tara. Mereka kiai-kiai semesta, yang merasa kedudukan tertinggi Rais Aam bukanlah hal yang bisa diikhtiari siapa saja agar sampai ke sana.

Kombes NU 1981, mBah Bisri telah meninggal. Mbah Ali Maksum kemudian digadang-gadang sebagai Rais Aam. Allah menjadi saksi bagaimana beliau selalu menolak meski dibujuk secara bertubi-tubi. “Gusti Allah melarangku mencari jabatan.” tukas mBah Ali.

Kalau bukan Gus Mus yang mendatangi nDalem beliau di Krapyak, menunggui rumah itu dari pagi hingga malam, hingga kembali ke pagi lagi, pantang pulang sebelum mengantongi kesediaan menjadi Rais Aam, mBah Ali tak akan keluar sembari menangis tanda beliau luluh: “Aku tak mencari jabatan. Tapi Gusti Allah melarangku untuk kabur dari tanggung jawab.”

Di Jombang, NU dilahirkan. Allah jadi saksi bagaimana Kiai Sahal menggadaikan seluruh nyawanya dalam hidup yang jauh dari kata nyaman hanya untuk NU. Maka setelah tugasnya paripurna, sangat layak jika beliau menghabiskan umur sepuhnya di pesantren, bersama para santri, jauh dari hiruk-pikuk Muktamar, lebih mendekatkan diri dengan wiridan kepada Gusti Allah.

Apalah daya, kalau bukan karena “dipaksa”, Kiai Sahal harus mengurungkan niatnya “pensiun” di pesantren, dan lagi-lagi menjabat menjadi Rais Aam hingga 2015.

Di Jombang, NU dilahirkan. Kiai-kiai sepuh membidaninya dengan suka-cita. Apakah di Jombang NU akan dibubarkan pula? Jika benar, ya sudahlah, jabatan Rais Aam berikan saja kepada yang ingin menjabatnya. Berikan “kursi” sakral itu kepada yang “ngarep” saja. Biar nanti dipertanggungjawabkan di hadapan mBah Wahab, mBah Bisri, mBah Sahal, dan di depan Gusti Allah.
“NU itu milik Allah. Kenapa khawatir?” begitu kata ‪‎GusMus‬, yang merasa tertimpa sial harus menggantikan mBah Sahal menjadi Plt. Rais Aam. (MNU/saiful)

Leave a reply