KH Noer Muhammad Iskandar, Dari Banyuwangi hingga Mendirikan Ponpes Ash-Shiddiqiyah

0
809
Bagikan Sekarang

JAKARTA — Umat Islam berduka, khususnya kalangan pesantren. KH Noer Muhammad Iskandar, Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta, meninggal dunia, Minggu 13 Desember 2020, pukul 13.41 WIB.

“Innalilillahi wainna ilaihi roojiuun. Mohon maaf segala kesalahan murobbi ruuhina Abah KH Noer Muhammad Iskandar SQ telah kembali kepada Allah SWT.Beliau ahli surga, husnul khatimah insyaAllah”.

Demikian pesan yang beredar di media sosial, Minggu 13 Desember 2020.

KH Noer Muhammad Iskandar, SQ M.A. Tokoh kelahiran 5 juli 1955 di Sumberberas, Banyuwangi, Jawa Timur. Putra kesembilan dari sebelas bersaudara, dari pasangan KH. Iskandar dengan Nyai Robiatun.

Ketika berusia 27 tahun atau tepatnya pada tahun 1982, KH. Noer Muhammad Iskandar.melepas masa lajangnya dengan menikahi Siti Nurjazilah, putri KH. Mashudi asal Tumpang, Malang, Jawa Timur. Nyai. Nurjazilah juga pernah memimpin Pondok Pesantren Putri Cukir Tebuireng, Jawa Timur.

Pernikahan berlangsung di kediaman KH. Mashudi yang waktu itu hadir dua tokoh besar kiai Jawa Timur yaitu KH. Makhrus Aly sebagai wakil dari keluarga KH. Noer Muhammad Iskandar, sedangkan dari Nyai. Hj. Nur Jazilah yaitu KH. Adlan Aly pimpinan Pondok Pesantren Cukir Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Pada saat akad nikah dilakukan oleh KH. Adlan sedangkan yang menjadi khutbah nikah adalah KH. Makhrus Aly.

Seminggu setelah pernikahannya, ia kembali ke Jakarta bersama istrinya setelah beberapa hari di Jakarta beliau masih belum mendapatkan tempat tinggal, beliau masih hidup dari satu rumah ke rumah teman lain. Hingga akhirnya ia dengan terpaksa berbicara kepada keponakannya Dra. Marsyidah Tahir untuk menitip istrinya dengan alasan bisa menemaninya sebagai teman bicara dan berbagi cerita.

Kemudian Kiai Noer Iskandar mulai memantapkan kembali yayasan al-Muhlisin di Pluit, setelah itu banyak sekali keberkahan yang di dapat mulai dari mengisi ceramah agama di radio CBB hingga banyak permintaan masyarakat untuk mengisi ceramah di berbagai daerah.

KH. Noer Muhammad Iskandar,memulai pendidikannya di pesantren tradisional Sumberberas, Banyuwangi, Jawa Timur, yang langsung diasuh ayahnya KH. Iskandar. Setelah menamatkan pendidikan dasar di madrasah ibtidaiyah, tahun 1967 ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang pada waktu itu diasuh KH. Makhrus Aly.

Di Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Noer Iskandar pernah memimpin ikatan santri Banyuwangi. Pada tahun 1974 beliau lulus dari Pondok Pesantren Lirboyo kemudian melanjutkan kuliah di PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) Jakarta.

Mendirikan Pesantren

Sebelum mendirikan pesantren, sahabatnya KH. Noer Muhammad Iskandar., S.Q., M.A, Ir.H. Bambang Sudaryanto kepala PPL Pluit datang kepadanya, ia bercerita kesuksesannya yang terkait pantai Mutiara Indah, Pluit.

Kedatangannya kali ini, ingin berterimakasih atas doa yang telah Kiai Noer berikan padanya.

Ia memberi hadiah kios kecil dan biaya untuk berangkat haji, syukur tiada tara atas hal tersebut. Kemudian ketika hendak mendaftarkan diri untuk berhaji ternyata pendaftarannya sudah tutup hingga akhirnya Kiai Noer bertemu kawan lama H. Rosyidi Ambari yang telah menjadi asisten menteri agama saat itu.
Ternyata H. Rosyidi sudah lama mencari Kiai Noer untuk diminta mengelola sebidang tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan.

Untuk memberikan jawaban seperti biasa Kiai Noer harus menunggu isyarat langit, istikhoroh. Isyarat yang ia dapatkan bahwa lahan itu memang baik dan prospektif. Meski begitu kepada H. Rosyidi, ia masih belum memberi jawaban menerima atau menolak. Ia tetap menjawab tawarannya sepulang dari tanah suci.

Saat itu, ia baru punya satu anak Noor Eka Fatimatuzzahra. Namun beliau tetap bisa mendiskusikan pada istrinya. Setelah mendengar berbagai pertimbangan dari beberapa kiai dan guru-guru. Pada tahun 1984, ia menyatakan menerima itu kepada H. Rosyadi Ambari, namun H. Rosyadi membawa beliau ke rumah H. Djaani sehingga seluas 2000 meter tanah wakaf.

Langkah pertama yang ia tangani adalah membangun musholah kecil dari triplek. Modal pembangunannya dari bapak H. Abdul Ghani putra ketiga H. Djaani.

Seperti kisah sukses pada umumnya, Asshiddiqiyah pun merintis dengan keprihatinan. Bahkan kini di Kedoya dari lahan wakaf yang seluas 2000 M telah berkembang menjadi 2,4 hektare, Batuceper sudah berkembang menjadi 6 hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 hektare dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektar.

Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk perkembangan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah masa depan. (Red)

Leave a reply