Ketua Umum PBNU: Gelorakan Ruhul Jihad di Masa Pandemi Covid-19

Bagikan Sekarang

JAKARTA — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan, Hari Santri tahun ini penuh dengan ujian di tengah pandemi. Ia pun mengobarkan momentum dilahirkannya Resolusi Jihad 1945 itu, dalam konteks kekinian.

Berikut Amanat Ketum PBNU Hari Santri Nasional 2020

Kontekstualisasi Ruhul Jihad di Era Pandemi

  1. MUQODDIMAH

Pada hari ini, tanggal 22 Oktober 2020, kita memperingati hari santri, hari yang memiliki makna sejarah penting. Sebuah pengakuan terhadap perjuangan kaum santri yang panjang, yang bahkan telah dimulai berabad-abad sebelum kata Indonesia populer di kalangan kaum pergerakan tahun 1920-an. Memperingati hari Santri berarti mencoba meneladani uswatun hasanah para ulama-pejuang kemerdekaan, para santri yang berjibaku meregang nyawa demi mempertahankan kemerdekaan bangsa.

Peringatan ini kita laksanakan agar kita mampu menerjemahkan, menerapkan, dan mengaplikasikan ruhul-jihad tersebut dalam menjawab tantangan saat ini dan masa depan. Karena itulah, melalui peringatan ini, dengan spirit Resolusi Jihad, kita, para santri, memiliki tanggung jawab moral untuk menjawab tantangan zaman.

  1. SEKILAS SEJARAH HARI SANTRI

Penetapan hari santri terkait erat dengan seruan Resolusi Jihad yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ary. Pada tanggal 21 Oktober 1945 PBNU mengundang konsul-konsul NU seluruh Jawa-Madura untuk rapat di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Surabaya.

Dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah ini, PBNU menetapkan keputusan penting yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah.”

Keputusan bersejarah ini diumumkan tepat tanggal 22 Oktober 1945. Rapat ini merupakan respons yang progresif dan cepat para ulama NU atas adanya upaya kembalinya NICA Belanda ke tanah air dengan membonceng tentara Sekutu untuk menguasasi kembali Indonesia.

Resolusi Jihad Fii Sabilillah dengan jelas memuat nilai nasionalismeyang berbasis ahlussunnah wal-jamaah, yaitu kewajiban mempertahankan kemerdekaan; NKRI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah yang harus dijaga dan ditolong; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya; perang suci (jihad) ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius94 km; dan fardhu kifayah bagi mereka yang tinggal di luar radius tersebut.Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang dikenal sebagai hari Pahlawan merupakan kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat Empat Hari pada 26 – 27 – 28 – 29 Oktober 1945, yaitu Perang antara Brigade ke-49 di bawah komando Brigjend Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang sangat heroik, yang menewaskan 2000 an lebih pasukan sekutu, termasuk Brigjend Mallaby yang terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945.

Para sejarawan, seperti Agus Sunyoto (2020) menyimpulkan bahwa Perang Rakyat Empat hari tersebut terjadi akibat adanya seruanResolusi Jihad PBNU yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945.Inilah sejarah penting yang melatari lahirnya hari Santri.

Sejarah yang memungkinkan bangsa Indonesia tidak jatuh kembali ke tangan penjajah setelah sebulan sebelumnya kemerdekaan diproklamirkan. Tidak salah jika ada yang berpendapat, tidak ada hari pahlawan tanpa Resolusi Jihad, alias hari Santri.

Resolusi Jihad menunjukkan peran besar santri dalam menegakkan kemerdekaan negara ini. Resolusi Jihad menunjukkan antara Islam dan nasionalisme bukanlah hal yang kontradiktif, bahkan tidak bisa dipisahkan.

Resolusi Jihad merupakan ekspresi patriotisme dan nasionalisme santri yang berbasis ajaran Islam Aswaja.

  1. PERAN SANTRI DALAM MEMPERKUAT JIWA NASIONALISME BANGSA

Tanggal 22 Oktober 1945 merupakan salah satu momentum sejarah penting. Berbagai peristiwa sejarah lain menunjukkan patriotisme dan nasionalisme masyarakat santri. Sebagaimana kita fahami, Nusantara yang kosmopolit, yang besar, secara perlahan dihancurkan oleh imperialisme.

Dimulai tahun 1511 ketika Portugis menancapkan kuku imperialistiknya ke Malaka, penjajahan Belanda berabad-abad hingga tahun 1942, dan penjajahan Jepang hingga 1945.

Tanam paksa, perbudakan, eksploitasi SDA, penghancuran strukturpolitik dan ekonomi, perampokan warisan leluhur bangsa merupakan wujud imperialisme saat itu. Sejarah mencatat, praktik imperialisme Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang mendapatkan perlawanan heroik dari rakyat, yang dipimpin oleh para Guru Tarekat dan Ulama Pesantren.

Catatan sejarah secara jelas menunjukkan bahwa hampir semua perjuangan bangsa selalu ditandai oleh keterlibatan penting kaum santri dan pesantren. Masyarakat santri, baik yang berbasis komunitas tarekat, maupun pesantren, menjadi salah satu tulang punggung perlawanan terhadap penjajah.Hubbul wathon minal-iman, doktrin yang hidup dan menjadi kesadaran berbangsa dan bernegara di pesantren terbukti mampu menggerakkan kekuatan rakyat melawan penjajah.

  1. TANTANGAN BARU KEBANGSAAN KITA

Saat ini kita tidak lagi berada di era penjajahan fisik. Saat ini kitaberada di zaman globalisasi. Masyarakat politik menyebutnyasebagai era pasca-hegemoni. Masyarakat ekonomi menyebutnyasebagai era neoliberalisme. Masyarakat pengetahuan menyebutnya sebagai era post-truth. Masyarakat teknologi menyebutnyasebagai era revolusi industry 4.0.

Masyarakat sosiologi menyebutnya sebagai era Generasi-Z. Apapun namanya, kita dihadapkan olehberbagai tantangan baru, sekaligus peluang baru. Saat ini, wajahkebangsaan kita dihadapkan oleh dua tantangan pokok.
Pertama,pandemik Covid-19 yang sampai sekarang belum melandai, juga belum ditemukan vaksin yang teruji secara klinis.

Kedua, UU Ciptaker yang mendapatkan sorotan kritis dari berbagai elemenbangsa. Dua tantangan inilah yang harus dijawab masyarakat santri,yang mewarisi spirit perjuangan para ulama pejuang masa lalu.

Pandemik Covid-19

Pandemi Covid-19 bukan hanya berdampak pada kesehatan,namun juga ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan kebudayaan.Dari sisi kesehatan, Covid-19 menjadi penyebab kematian lebihdari 350 ribu nyawa, ratusan tenaga medis, agamawan, dan akademisi. Dari sisi ekonomi, COVID-19 menyebabkan guncangan yang mendisrupsi ekonomi kita.

Dari sisi pendidikan, Covid-19 ini telah mengubah lanskap dunia pendidikan, termasuk pesantren. Dari sisi keagamaan, Covid-19 telah juga mempengaruhi berbagai kaifiyyahubudiyyah mulai dari sholat, umroh, haji, hingga perawatanjenazah.
Dari sisi kebudayaan, Covid-19 telah mengguncang praktikkebudayaan yang berbasis komunalisme masyarakat.
Penanganan Covid-19 ini jelas membutuhkan keterlibatan multi-pihak. Pemerintah, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil seperti NU, Muhammadiyyah, dan lainnya dituntut untuk bekerja sama. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dituntut untuk mengambil arah kebijakan yang komprehensif dan konsisten.

Kebijakan yang tidak konsisten, tidak komprehensif, tidak berbasis riset hanya akan menambah masalah ketimbang menyelesaikan masalah.

Santri yang memiliki modal keagamaan, sosial, dan budaya dituntut kontribusinya dalam penanganan Covid-19 ini, melalui paling tidak menjaga komunitas santri dan pesantren agar tidak menjadi cluster.

Anjuran untuk bertaubat, membaca sholawat, menghentikanpermusuhan dan pertikaian, berdoa, merupakan khazanah pesant-ren yang masih relevan untuk menjawab pandemik. Selain itu, jugadikombinasikan dengan ikhtiar lahir seperti menjaga jarak, socialdistancing, memakai masker, meningkatkan imunitas, menjagakebersihan dan lainnya.

UU Cipta Kerja

Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja ini menjadi polemik publik sejak dari proses penyusunan sampai disahkan menjadi UU. Publik mempertanyakan urgensi dan efektivitas UU ini terhadap upaya penyelesaian masalah kebangsaan.

Tujuan UU Cipta Kerja untuk penyederhanaan regulasi, memangkas regulasi, menata ulang perijinan agar mampu menyediakan tenaga kerja, memanfaatkan bonus demografi, efisiensi birokrasi, meningkatkan investasi, menyederhanakan dan sinkronisasi birokrasi, dan pemberdayaan UMKM, merupakan formulasi arah kebijakan yang patut diapresiasi.

Akan tetapi, UU Cipta Kerja ini juga menyimpan sejumlah problematik seperti komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan, liberalisasi pasar kerja, reduksi hak-hak dasar pekerja, liberalisasi massif sektor pertanian hingga migas dan mineral. Problematik ini semestinya diselesaikan secara terbuka, melibatkan partisipasi masyarakat, dan berpijak pada nilai kemaslahatan publik. Karena berbagai problematik di atas, maka menjadi penting untuk mencari jalan keluar yang berbasis pada kemaslahatan publik.

Suara-suara jernih, objektif, dan argumentatif dari masyarakatmenjadi penting untuk didengar dan dicarikan formulasi kebijakannya secara arif. Arah kebijakan yang perlu ditempuh adalah mempertahankan pasal-pasal yang mampu mewujudkan tujuan awal Cipta Kerja, sekaligus melakukan koreksi terhadap pasal-pasal yang menjadi sorotan publik.

  1. MENJADI SANTRI HARAPAN BANGSA

Santri yang dididik di pesantren bukan hanya diajarkan pengetahuan semata, namun juga pendidikan karakter yang kuat. Pendidikan karakter inilah yang membentuk akhlakul karimah yangmelekat dalam diri santri. Para santri diajarkan untuk berinteraksisosial dengan sesama anak bangsa dari berbagai daerah, kultur,adat istiadat, ekonomi, dan etnis yang beragam.
Santri juga dididikuntuk melahirkan kebanggaan diri sebagai bangsa, memiliki tradisinya sendiri, dan juga percaya diri terhadap struktur pengetahuanyang dimiliki. Apa yang diajarkan pesantren selalu diorientasikanuntuk memahami dan menjawab problem-problem kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Pendidikan pesantren merupakan institusi pembelajaran untukmengembangkan pengetahuan, ilmu, dan teknologi untuk kepentingan agama, masyarakat, negara, dan dunia.
Pesantren merupakaninstitusi pendidikan yang mengajarkan harmoni, persatuan, kesatuan, tata pergaulan kosmopolit, yang menjadikannya sebagaigreat-tradition. Dengan modal sosial budaya keagamaan tersebut,saya yakin, santri mampu menjawab berbagai problem keagamaan,kemasyarakatan, kebangsaan, dan dunia.

Santri dituntut untukterus memahami dan setia berpijak pada tradisinya sendiri, melakukan kontekstualisasi-inovasi, dan menyerap secara selektif berb-agai perkembangan sains teknologi dan kebudayaan dari berbagaibelahan dunia.

  1. PENUTUP: PANDEMI SEBAGAI TITIK
    TOLAK TRANSFORMASI SANTRI

Pandemi Covid-19 dan kebijakan publik terutama UU Ciptaker merupakan dua isu yang saat ini mewarnai wajah keislaman dan kebangsaan kita. Suka atau tidak suka, diakui atau tidak, problem dan tantangan kebangsaan tersebut telah hadir di depan kita.
Kita tengah menghadapi berbagai tantangan baru, transformasi sosial dan kenormalan baru yang berbeda sama sekali dengan masa sebelumnya. Jika dahulu Resolusi Jihad menghadapi setting imperialisme, maka saat ini Resolusi Jihad dihadapkan oleh konteks tantangan Pandemi dan dampak kebijakan publik.

Nilai-nilai Resolusi Jihad, seperti nasionalisme, patriotisme, semangat rela berkorban, dihadapkan problem wabah yang mengancam keselamatan publik, disrupsi ekonomi yang memperparah kemiskinan dan kesenjangan, terbatasinya proses pendidikan, hingga praktik kebudayaan yang terbatasi karena social distancing, dan lainnya.

Dalam konteks itulah Hari Santri harus dimaknai. Tantangan zamanini harus dijawab dengan mempertahankan khazanah pesantren,revitalisasi spirit Resolusi Jihad, sekaligus melakukan transformasiteknologi. Tanpa transformasi teknologi, tanpa mematuhi protocolKesehatan, dan tanpa upaya memetik hikmah atas peristiwa yangada, kita akan kehilangan momentum sejarah, serta melemparkan kita jauh ke belakang peradaban.

Di era new normal kelak, transformasi radikal di semua sector kehidupan merupakan keniscayaan.Hal ini membutuhkan kontekstualisasi dan inovasi Resolusi Jihadagar hari santri ini bermakna dalam sejarah.

Wallohu a’lam bis-showwab

Jakarta, 22 Oktober 2020
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj

Leave a reply