
Oleh: Abu Irfan al-Mansyur (Pegiat kitab kuning, dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya)
Nama KH Sholeh Darat (w. 1903), yang selanjutnya disebut Kiai Sholeh, cukup dikenal kealimannya. Darinya, banyak lahir tokoh penting yang cukup besar sumbangsihnya bagi nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. Sebut saja diantaranya; Hadlratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Bahkan RA Kartini diyakini pernah mengaji kepada beliau, sekalipun tidak lama seperti yang dilakukan dua tokoh sebelumnya.
Berbagai karya telah ditorehkan Kiai Sholeh meskipun karya-karyanya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, baik terjemahan atau ringkasan dari kita aslinya. Salah satu karyanya adalah kitab “Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharah al-Tauhid”, kitab terjemah dari kitab Jauharah al-Tauhid karya al-Syaikh Ibrahim al-Liqany. Mengapa menggunakan bahasa Jawab? Kiai Sholeh menegaskan sebagaimana berikut: Moko dadi kerep ingsun lan demen ingsun ing yintho terjemahaken ingsung kalawan bahasa jowo, kawan sebab nuruti karepe ba’dul ikhwan supopo dadi manfate ingatasi wong awam.
(Maka, hal ini menjadi keinginan dan kesenanganku untuk menerjemahkan dengan bahasa Jawa dengan mengikuti kehendak dari sebagian teman: agar kelak menjadi manfaat bagi kalangan awam. [hal, 2-3].
Pernyataan Kiai Sholeh menarik untuk dipahami; bahwa alasan karya-karyanya, termasuk kitab ini, ditulis dengan bahasa Jawa adalah dalam rangka merespon keinginan publik, yang mayoritas audiens dakwahnya adalah masyarakat Jawa. Hal ini mungkin selaras dengan ungkapan Arab: khatibunnas ‘ala qadri uqulihim (berbicaralah dengan orang yang lain sesuai kadar akalnya) sehingga mendapat momentumnya.
Tentang kapan Kitab “Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharah al-Tauhid”, penulis belum menemukan keterangan. Hanya saja, Penerbit Toha Putra Semarang konon berjasa menerbitkan beberapa karya Kiai Sholeh, termasuk kitab ini. Kitab yang secara umum memuat ajaran tauhid ala Ahlussunnah wa al-Jamaah, serta beberapa halaman terakhir memuat ajaran tasawuf dan etika bergaul dengan orang lain.
Pastinya, dengan bahasa Jawa, Kiai Sholeh ingin mengajak agar kitab ini lebih mudah dipahami dari kitab aslinya, dan lebih dari itu tentu saja agar bermanfaat. Kemanfaatan ilmu yang dimaksud Kiai Sholeh adalah kegunaan yang dibawah hingga kelak meninggal dunia.
Untuk tujuan ini, tentu tidak harus menggunakan bahasa Arab, mengingat tidak sedikit tafsir al-Quran yang menggunakan bahasa selain Arab, misalnya bahasa Turki. Kalau bisa dipermudah, mengapa dibuat sulit? Apalagi yang diajarkan adalah pokok-pokok ajaran Islam.
Kitab “Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharah al-Tauhid” sekali lagi adalah salah satu contoh bagaimana beliau menjadikan lokalitas sebagai medium penting untuk berdakwah sehingga mudah menjelaskan di satu sisi, dan mengelabui serta mempersulit penjajah memahami tulisan “pegon” di sisi yang berbeda. Sebab, mereka menyangka sebagai bahasa Arab asli, yang menjauhkan lokalitas dengan dirinya sendiri, yakni masyarakat Jawa.
Menjadi diri sendiri adalah bentuk perlawanan halus agar kita semua menghargai lokalitas. Dan dari Kiai Sholeh, layak kita belajar termasuk membaca kitab ini. Selamat membaca. (s@if)