Seandainya Kiai Wahab Tidak Mendesak (Pendiri NU Yang Sebenarnya)

1
912
Bagikan Sekarang

 

Mencermati sejarah perjuangan almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah sesungguhnya sama dan sebangun dengan sejarah Nahdlatul Ulama, setidak-tidaknya sampai dekade abad keduapuluh yang lalu. Sejak perintisannya, hingga peran historisnya yang panjang, jam’iyyah diniyah ini tidak bisa dilepaskan dari jejak langkah tokoh ini. Kiai Wahablah yang sejak awal, dengan penuh gairah menggagas, merintis, mendirikan, mempertahankan dan mengembangkan NU. Dalam perspektif tersebut, maka upaya untuk menggali riwayat hidup almaghfurlah menjadi sangat signifikan. Apalagi melihat spektrum gagasan dan kegiatannya yang sangat luas.

Kita sangat beruntung, bahwa sudah cukup banyak literatur yang menguak perjalanan sejarah NU. Tetapi kita harus mengakui, pengetahuan kita tentang KH Wahab Chasbullah masih sangat sedikit. Sebuah buku yang ditulis almaghfurlah KH Saifuddin Zuhri berjudul Kyai Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri NU dan beberapa buku berikutnya tampaknya masih kurang memadai untuk melihat sosok beliau. Ketika Kiai Wahab kembali ke rahmatullah, 1971, NU masih menjadi Partai Politik, suatu partai yang juga dengan gigih dilahirkannya, ketika kekecewaannya memuncak karena tidak diakomodasikannya kepentingan kaum pesantren.

KH Wahab Chasbullah, lahir dari lingkungan pesantren dalam arti sesungguhnya K. Chasbullah, ayah beliau, adalah generasi kedua Pesantren Tambakberas yang didirikan oleh Kiai Sihah. Kehidupan keseharian pesantren adalah kehidupan sarat oleh kegiatan religius yang ritmis. Proses belajar, bukan hanya terletak pada trasmisi ilmu pengetahuaun, tetapi juga bermakna penyerapan (internalisasi) nilai-nilai kehidupan islami yang khas santri.

Sistem yang dewasa ini disebut boarding school, tidak semata membentuk santri belajar menerima ilmu yang diberikan oleh guru, tetapi menyerap tradisi dan cara hidup yang spesifik. Orang luar yang nyantri, berarti mondok. Atau dibalik, mondok berarti nyantri. Nyantri lebih memberi konotasi transmisi keilmuan, sedang mondok, lebih berarti tinggal di dalam dan hidup dalam tradisi pesantren.

Kiai Wahab yang “Gus”, artinya lahir dan tumbuh dalam lingkungan seperti itu. Karena itu proses transmisi keilmuan dan internalisasi nilai-nilai keislaman berjalan amat alamiah. Ia mendengar dan mengalami bagaimana para santri yang datang dari berbagai daerah ngaji, membaca al-Quran, mengkaji kitab-kitab dari berbagai fan,  sejak kecil. Karena itu jika secara “formal” ia baru ikut mengaji ketika mulai dewasa dari ayahnya, hampir pasti ilmu keagamaan serta pemahamannya terhadap tradisi santri, diserap lebih awal dari itu. Penyerapan ilmu dan tradisi santri menjadi lebih kental, karena di masa remajanya, ia juga nyantri di berbagai pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk tiga tahun pada Kiai Cholil di Bangkalan dan empat tahun pada Kiai Hasyim Asy’ari, di Tebuireng.

Nyantri di mana-mana itu, kelak akan memberi manfaat yang besar, ketika Kiai Wahab mengembangkan jaringannya untuk membangun dan mengembangkan NU. Di antara kiai-kiai itu misalnya Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abbas Buntet, Kiai As’ad Syamsul Arifin Asembagus, dan Kiai Abdul Karim Lirboyo.

Kepergiannya belajar ke Makkah selama lima tahun, bukan saja menambah wawasan keilmuan, tetapi juga pengenalannya kepada masalah-masalah perkembangan Islam mondial. Guru-gurunya di Makkah seperti Kiai Mahfudz Attermasyi, Kiai Baqir Yogyakarta, Kiai Muchtarom Banyumas serta Syeikh Achmad Chatib Minangkabau menambah keluasan ilmu. Pergaulannya di sana menambah aksesnya kelak dengan banyak alumni Makkah, baik yang sepaham maupun tidak.

Penelusuran kita terhadap periode pembelajaran Kiai Wahab penting untuk mengetahui pembentukan manhaj al fikrnya. Dari sejak tumbuh, belajar di berbagai pesantren di Jawa, hingga ke Makkah, sebagian besar gurunya adalah mereka yang berfikir dalam madzhab Syafi’i di bidang fiqh, termasuk ushul fiqh, serta mengikuti teologi skolastisisme al-Asy’ari dan al-Maturidi. Di bidang tasawuf berkiblat pada al- Ghazali dan al-Sanusi. Berbagai model pemecahan masalah yang dilakukannya kelak, sering bertumpu pada pemahaman, bahkan mungkin lebih tepat disebut penghayatannya atas manhaj al fikr yang kita sebut di atas. Menjadi menarik, ketika berbagai masalah kemasyarakatan dan politik yang kritis, ditemukan penyelesaiannya dengan mengedepankan pendekatan yang mengacu pada kaidah ushul fiqh.

Ayahandanya, Kiai Chasbullah, adalah termasuk kiai aghniya atau berpunya. Selain mengajar di pesantrennya, juga berdagang. Ini kelak akan memberikan pengaruh kepada Kiai Wahab, baik dalam gagasan ekonomi maupun profesi yang digelutinya. Ia juga diambil menantu Kiai Musa, dari Kertopaten, seorang guru agama, sekaligus pedagang yang berkecukupan. Sempurna sudah putra kiai kaya diambil mantu kiai kaya juga. Hal ini menjadikan Kiai Wahab terjun ke sektor perdagangan di Surabaya. Sebagai saudagar, Kiai Wahab menggeluti perdagangan beras, gula dan batu mulia. Kegiatannya sebagai pelaku ekonomi, membuka matanya terhadap kondisi ekonomi masyarakatnya.

Surabaya, awal abad kedua puluh, adalah pusat pergerakan kebangsaan yang penting. Di kota ini tinggal tokoh nasionalis muslim yang sangat berpengaruh, Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang memimpin Sarekat Islam. Pusaran dan kaderisasi gerakan kebangsaan berlangsung di tempat tinggalnya. Dari lingkungan Tjokroaminoto, lahir tokoh-tokoh pergerakan nasional yang punya pandangan berbeda-beda dilihat dari perspektif ideologi.

Jauh hari sebelum kembali ke tanah Jawa, Kiai Wahab sudah terlibat dalam SI     dengan mendirikan cabang organisasi tersebut di Makkah. Ini menunjukkan, Kiai Wahab selama belajar di Makkah tidak melepaskan perhatiannya terhadap perkembangan tanah airnya. Menjadi tidak mengherankan bila sepulangnya ke Surabaya, Kiai Wahab membangun kontak dengan HOS Tjokroaminoto dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya kemudian, kontak ini akan membawa pengaruh pada kedekatannya dengan Soekarno, khususnya setelah Soekarno menjadi Presiden RI dan Kiai Wahab menjadi Rois ‘Am Partai NU.

Sebagai pendidik, pada 1916, Kiai Wahab bersama Mas Mansur, mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibantu beberapa teman dekatnya seperti Kiai Bisri Syansuri, Abdullah Ubaid, Abdul Halim Leimunding. Lebih menarik tokoh-tokoh seperti Tjokroaminoto, Soenjata dan R. Panji Suroso ikut membantunya mendirikan Nahdlatul Wathan.

Sebagai pedagang, pada 1918, ia ikut mendirikan Nahdlatut Tudjdjar (Kebangkitan Para Pedagang), sebuah organisasi para pedagang dari Jombang dan Surabaya. Langkah ini menunjukkan perhatiannya terhadap keadaan perdagangan di sekitarnya. Seperti diketahui, kolonial Belanda telah memberikan berbagai keistimewaan kepada pedagang Tionghoa. Reaksi Kiai Wahab sama dengan yang dilakukan oleh Haji Samanhoedi, yang mendirikan Serikat Dagang Islam di Solo, tahun 1905.

Ada yang harus kita perhatikan dari nama yang dipakai dari dua organisasi tersebut. Selalu dipilih kata Nahdlah. Kebangkitan! Kita akan segera melihat keprihatinan Kiai Wahab terhadap kondisi pendidikan dan ekonomi dalam nisbahnya dengan kebangkitan tanah air. Kiai Wahab ingin umat dan bangsanya bangkit dari kebodohan dan kemiskinan yang melilitnya.

Dalam keprihatinannya yang lain, khususnya menghadapi gerakan yang oleh para Indonesianis disebut Islam modernis, pada tahun yang sama, Kiai Wahab mendirikan Taswirul Afkar,  bersama Kiai Haji Ahmad Dahlan, seorang ulama dari Kebondalem. Kita perhatikan, bagaimana Kiai Wahab merespon segala serangan yang dialamatkan kepada pemahaman agama model pesantren. Ia lalu aktif mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan beberapa shahibnya. Masalah ijtihad dan taqlid, serta soal  furu’iyah, yang jadi perdebatan umum saat itu, ia tanggapi dengan membangun kelompok kajian. Dengan upaya itu, ada proses dialog internal dan penggemblengan sebelum menghadapi berbagai debat terbuka yang harus dilakukannya dengan para penganjur pemurnian Islam, seperti KH Ahmad Dahlan dari Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah dan Ahmad Soorkati, pendiri al-Irsyad. Dari beberapa literatur tidak disebutkan adanya perdebatan dengan A. Hasan, pendiri Persatuan Islam.

Kiai Wahab makin total menghadapi gerakan ini ketika Kongres Islam Pertama, 1922, di Cirebon kehilangan arah, ketika justru menjadi ajang pertentangan antara kaum pesantren dengan mereka yang disebut kaum modernis. Pada 1924 Kiai Wahab mulai menggagas cara yang lebih effektif untuk menghadapi serangan itu, yaitu dengan menghimpun ulama dalam suatu organisasi. Sekalipun didukung banyak ulama lain, Kiai Hasyim Asy’ari belum merestuinya. Perkembangan dunia Islam yang antara lain diwarnai keputusan Parlemen Turki yang menghapuskan kekhalifahan dan perebutan Makkah oleh Abdul Aziz Ibnu Su’ud yang didukung kaum Wahabi, makin memperburuk keadaan. Kongres Umat Islam Kedua, 1925, yang diselenggarakan di Yogyakarta menolak usul Kiai Wahab agar ada resolusi kebebasan bermadzhab di Hijaz. Pertemuan beberapa organisasi yang mengusung jargon kembali ke al-Quran dan al-Sunnah di Cianjur, awal Januari 1926 menyusun delegasi untuk Kongres Umat Islam se Dunia yang akan diselenggarakan di Kairo dengan tidak mengikutkan para ulama pesantren.

Di bulan Januari 1926 itu pula Kiai Wahab kembali mendesak untuk dihimpun ulama pesantren guna menghadapi perkembangan situasi. Pada pertengahan Januari 1926 Kiai Wahab akhirnya memperoleh restu Kiai Hasyim dengan mengundang para ulama untuk menyusun sendiri delegasi ke Makkah untuk memperjuangkan kepentingan kalangan pesantren. Terbentuklah apa yang disebut dengan Komite Hijaz.

Pada 31 Januari 1926, Kiai Wahab mengundang alim-ulama di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut disepakatilah sebuah organisasi perjuangan dari kalangan pesantren dengan nama Nahdlatul Oelama (NO). Dengan ejaan baru kemudian dikenal sebagai Nahdlatul Ulama (NU). Lagi-lagi kita bersua dengan kata Nahdlah!

Pertemuan ini menyepakati bentuk kepengurusan yang terdiri dari Syuriah dan Tanfidziyah. Di Syuriah, kedudukan tertinggi dipegang oleh Rois Akbar KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab sebagai Katib Awwal. H. Hasan Gipo dipercaya menjadi Ketua Tanfdiziyah. Kelak sesudah Kiai Hasyim wafat 25 Juli 1947, kedudukannya digantikan oleh Kiai Wahab. Tetapi ia menolak disebut Rois Akbar, sebagai penghormatan kepada guru dan mentornya, Kiai Hasyim. Sejak itu pimpinan tertinggi NU disebut Rois ‘Am dan dipegang oleh Kiai Wahab.

Setelah dibentuknya NU, Kiai Wahab bekerja amat keras. Keliling dari satu daerah ke daerah lain di seluruh Jawa. Kerja kerasnya membuahkan hasil, karena dalam waktu singkat, NU berkembang bahkan di luar Jawa. Muktamar NU dilaksanakan hampir setiap dua tahun. Di masa itu transportasi tidak semudah sekarang, pekerjaan mengunjungi daerah bukanlah aktivitas yang mudah. Diperlukan semangat yang besar. Kiai Wahab dibantu beberapa tokoh NU muda seperti Kiai Wahid Hasyim, Abdullah Ubaid, Mahfudz Siddiq dll, bekerja keras mensosialisasikan organisasi baru yang baru dibentuknya bersama para ulama sepuh, di antaranya Kiai Hasyim, yang akhirnya memberikan restu karena desakannya yang terus menerus sejak 1924. Sebagai inisiator dan pendiri utama NU, Kiai Wahab tampaknya mengambil tanggungjawabnya dengna sungguh-sungguh. Ia tidak kenal lelah untuk, ke dalam, terus membangun organisasi dan keluar dengan gigih melakukan pembelaan atas serangan yang ditujukan kepada kaumnya.

Bulan Oktober 1926 itu juga NU melakukan muktamarnya yang pertama. Di situ diputuskan pengiriman delegasi ke Hijaz dengan membawa tuntutan kemerdekaan bermadzhab, dilakukan giliran imam sholat Jumat di Masjidil Haram, tarif haji, usul mempertahankan tempat-tempat bersejarah, termasuk makam nabi dan sahabat, serta penjelasan tentang hukum yang berlaku di Hijaz. Delegasi baru berangkat dua tahun kemudian. Raja Saud merespon tuntutan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan bermadzhab. Sedangkan tuntutan lainnya tidak disinggung sama sekali dalam surat jawaban Raja Saud tersebut. Pada perkembangannya kemudian, apalagi sekarang, kebebasan mengajarkan dan mengamalkan berbagai madzhab di Masjidil Haram dan Masjidil Nabawi, hilang ketika ada penyeragaman di Haramain itu. Ulama yang mengajarkan  dan mengamalkan madzhab Syafi’i misalnya hanya bisa dilakukan di rumah-rumah.

Kondisi dan situasi tanah air membawa NU tidak hanya mengurusi tema awal yang memicu kelahirannya. Pada Muktamar NU tahun 1928, disusun Anggaran Dasar untuk mendapat pengakuan pemerintah. Baru pada 6 Februari 1930, NU disahkan Adnya oleh pemerintah Hindia Belanda. NU melalui statutennya, menegaskan dirinya sebagai jam’iyah diniyah. Tujuan organisasi disebutkan untuk: memegang dengan teguh pada salah satoe dari madzhabnja Imam ampat: jaitu Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah an-Nu’man, ataoe Imam Ahamd bin Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam (fasal 2 statuten)

Sedangkan usaha atau ichtiar yang akan dipilih disebutkan pada fatsal 3 nya sbb:

  1. Mengadakan perhoeboengan di antara “Oelama-Oelama” jang bermadzhab terseboet dalam fatsal 2;
  2. Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnya Ahli Soenah wal Djama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah.
  3. Menjiarkan Agama Islam di atas madzhab sebagai terseboet dalam fatsal 2 dengan djalan apa saja jang baik.
  4. Berichtiar memperbanyak madrasah-madrasah jang berdasar Agama Islam.
  5. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan mesjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe joega dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
  6. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh syara’ Agama Islam.

Tujuan dan ikhtiar tersebut di atas, menjelaskan bahwa pada awalnya pendirian NU memang diarahkan kepada terwujudnya sebuah jam’iyyah diniyah (organisasi keagamaan) yang bergerak untuk memperkokoh silaturrahmi, meningkatkan pendidikan, memperluas dakwah, meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi masyarakat.

Di atas, saya secara agak panjang lebar mengulang kembali pengetahuan kita tentang sejarah NU sejak embrional, untuk melihat  sejauh mana peran Kiai Wahab Chasbullah dalam keseluruhan sejarah NU tersebut. Dari paparan di atas, menjadi sangat jelas bahwa Kiai Wahab Chasbullah memang pendiri NU yang sebenarnya. Istilah pendiri NU yang sebenarnya saya pinjam dari Martin Van Bruinessen dalam bukunya NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (LKiS, 1994)

Kiai Wahab Chasbullah sejak NU masih cikal bakal hingga tahun 60-an selalu berada di depan dalam pasang surut organisasi yang didirikannya itu. Di saat NU menyatakan diri sebagai Partai Politik pada 1952, peran Kiai Wahab kembali sangat menonjol dengan inisiatif dan desakannya untuk –ketika ulama dimarjinalkan di dalam Partai Masyumi- meyakinkan pada ulama di lingkungan NU untuk merubah NU menjadi Partai Politik sendiri. Hal itu dilakukannya sebagai pembuktian bahwa NU bukanlah kelompok yang bisa dianggap kecil. Ketika peserta Muktamar Palembang, banyak yang masih ragu, Kiai Wahab dengan gigih meyakinkan muktamirin dengan mengatakan bahwa apabila semuanya tidak menyetujui, maka saya tetap akan membangun partai NU dengan hanya memerlukan seorang sekretaris. Dan pernyataannya benar, terbukti Pemilu 55 NU menjadi salah satu dari empat Partai besar, yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI. Kegigihannya untuk membuktikan kebesaran NU kepada Partai Masyumi yang telah didominasi oleh kaum modernis hampir bisa dipastikan juga berdasarkan pada pengalamannya yang panjang dalam membela kalangan pesantren. Ketika Kiai Wahab memutuskan menerima agar NU masuk dalam DPR GR dan kabinet sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, serta bergabung dengan politik Soekarno, dapat diperkirakan juga oleh karena Kiai Wahab menganggap bahwa itulah saatnya NU mengambil peranan dalam kehidupan nasional mewakili umat Islam setelah Partai Masyumi sendiri dibubarkan.

Kiai Wahab telah tiada ketika satu generasi baru, tetapi tetap dengan restu  para ulama sepuh, mengembalikan NU ke Khittahnya melalui usaha panjang dan berpuncak pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Upaya mengembalikan NU ke Khittahnya dilakukan sebagai ikhtiar membawa NU pada jatidirinya. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa kekuatan NU terletak pada kemampuan dalam memelihara lembaga dan pranata sosial yang bertumpu pada pendidikan, dakwah, amal sosial, dan peningkatan ekonomi, serta amar ma’ruf nahi munkar. Ketika NU berada dalam gegap gempita kehidupan partai politik, NU menjadi lalai untuk mengembangkan potensi dasar tersebut. Jika NU sampai hari ini tetap menjadi jam’iyyah diniyah terbesar di negara kita, amat jelas bukan dicapai melalui peran politiknya, tetapi karena kemampuannya memelihara tradisi, mengembangkannya, dan menyeleksinya sesuai dengan perkembangan sosial. Ketika menjadi partai politik, NU memang besar, justru karena kemampuannya sebagai jam’iyyah diniyah tersebut. Bukan sebaliknya.

Saya kira, jejak awal Kiai Wahab Chasbullah ketika mendirikan NU itulah yang harus terus pelihara. Menjadi partai politik harus dipandang sebagai jawaban intermezzo yang momental atas  tantangan yang ada saat itu. Biar jadi bagian sejarah perjalanan NU. Toh NU selalu kembali ke garis perjuangannya yang awal. Suatu garis perjuangan yang diletakkan dasarnya oleh Almaghfurlah KH. Wahab Chasbullah. Alhamdulillah!

Penulis: KH Slamet Effendi Yusuf, Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor 1985-1990/1990-1995.

Editor: Saiful

 

 

 

 

 

 

 

 

1 comment

Leave a reply