Utamakan Khidmah, Ketaatan dan Tabayun

0
740
Bagikan Sekarang

kyai miftahWawancara khusus Wakil Rais Am PBNU, KH Miftachul Akhyar

KH Miftachul Akhyar sudah dikukuhkan menjadi Wakil Rais Am PBNU dan meninggalkan posisinya sebagai Rais Syuriah PWNU. Bagaimana prosesnya sehingga ia terpilih? Bagaimana Kiai Miftah menyikapi sejumlah kritik dan ungkapan kekecewaan yang mengarah ke PBNU? Bagaimana pula arahan PBNU untuk membangun NU ke depan? Berikut wawancara khusus Aula kepada Pengasuh Pondok Pesantren Miftahussunnah Surabaya ini.
Sebelum pengukuhan, PBNU bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Apa saja yang dibahas, Kiai?

Mestinya presiden menerima PBNU pada pertengahan bulan Desember, tapi tiba-tiba dimajukan. Mungkin karena dorongan untuk meminta NU meredam gejolak sosial di negara kita. Di samping itu memang lebih cepat lebih baik, sehingga PBNU bisa menyampaikan hasil-hasil muktamar secara langsung.
Saat itu presiden mengakui, ekonomi sedang melabat dan tentu masyarakat sangat sensitif terhadap kebijakan-kebijakan tidak populer yang diambil oleh pemerintah, sehingga presiden mengharapkan sekali NU bisa meredam kejolak sosial yang terjadi saat ini. Sebab pada saat ini, ekonomi kita hampir sama dengan masa akhir orde baru dan berakibat jatuhnya Pak Harto sebagai presiden waktu itu.

Kalau dilihat, sepertinya Presiden Joko Widodo menyerahkan dirinya kepada NU. Presiden berharap NU bisa menyangga kondisi negeri saat ini. Bahkan presiden mengatakan pemerintah tidak akan menaikkan BBM dan sembako.

Biasanya, banyak kepentingan yang ingin masuk melalui suasana krisis-krisis semacam ini. Katakanlah membuat suatu suasana yang demikian pasif, nanti ujung-ujungnya terjadi modus-modus oleh para mafia itu. Sekarang ini kan banyak modus-modus bagaimana seseorang bisa meng-golkan temannya untuk menduduki posisi-posisi tertentu.

Jadi NU diminta bagaimana membuat suasana stabil, kondusif, dan aman, terutama suasana kerohaniannya dan suasana kebatinannya. Meskipun sebenarnya tanpa diminta pun NU memiliki kewajiban itu, siapapun pemerintahnya. Ini sudah menjadi amanah bagi NU. Bahwa dalam ajaran Islam, hidup dan mati itu ujian. Jangan dibuat terlalu mengherankan, kita tidak ingin krisis sosial yang tidak kita inginkan.

Apa perlu istighasah akbar atau seruan shalat istisqa’, Kiai?
Soal istighasah dan shalat istisqa’ memang sangat perlu. Juga perlu melakukan pertaubatan nasional. Sebab istighasah sekarang ini tampaknya sudah berbeda. Orang-orang berkumpul kemudian membaca ini dan itu, tapi dirinya masih bergelimang noda atau dosa, padahal pertaubatan nasional atau pertaubatan itu sendiri mengartikan kembali pada yang benar, beristigfar menyadari kesalahan, lalu meninggalkan kesalahan yang menjadi penyebab itu dan tidak akan megulangi kembali. Kalau nanti terjadi pengulangan kesalahan, bukan suatu kesengajaan atau terkonsep memang manusia itu letaknya tempat salah. Kan isi dunia ya begitu saja. Ada yang shaleh dan ada juga yang tolah-toleh. Menurut saya, pertaubatan nasuha secara nasional harus dilakukan. Bagaimana korupsi dan penyalahgunaan semuanya dibiarkan.

Sekarang Kiai Miftah sudah dikukuhkan sebagai Wakil Rais Am PBNU, sebenarnya bagaimana prosesnya sampai Kiai Miftah bisa menduduki posisi itu?

Saya menyadari, saya ini bukan apa-apa. Kalaulah dianggap orang lain apa-apa, itu karena NU. Kalau orang mengatakan NU itu tidak bisa memberikan apa-apa, maka itu salah. Akhirnya banyak orang yang menyalahgunakan NU sebagai batu loncatan. Sudah banyak orang yang dilahirkan dan dibesarkan oleh NU. Itu semua karena melalui gemblengan NU.

Sebenarnya, prosesnya sejak muktamar. Sebelum anggota ahlul halli wal aqdi rapat pada hari Rabu, Gus Mus ada di sebelah saya dan berbisik; “Sudah cukup ya saya. Saya sudah tidak ikut,” kata Gus Mus. Artinya beliau tidak ikut selanjutnya, setelah itu menghilang.

Dan sebelum rapat Ahwa dimulai, sambil menunggu Kiai Maimun, saya dipanggil. Saya dikasih tahu; “Kiai, Rais Am-nya Kiai Ma’ruf Amin, setelah Gus Mus mundur. Tapi Kiai Ma’ruf tidak mau jadi rais am kalau wakilnya bukan Kiai Miftah,” katanya. Seketika itu saya terkejut. Waktu itu saya di Pendapa Kabupaten Jombang bersama Kiai Anwar Iskandar, Kiai Anwar Manshur dan beberapa kiai yang lain.

Maka saya katakan; “Jangan saya, Kiai Mas Subadar saja.” Tapi Kiai Ma’ruf tidak mau. Setelah itu saya tidak ikut muktamar. Saya pulang ke Surabaya. Waktu pemilihan ketua umum saya ada di rumah. Waktu itu katanya saya dicari oleh Kiai Ma’ruf.

Selanjutnya, Kiai?

Besok Paginya ada utusan datang ke rumah saya mengatasnanmakan perintah Kiai Ma’ruf. Tapi informasi itu belum jelas, masih meragukan. Akhirnya Kiai Said Aqil terpilih menelepon saya, beliau menyampaikan pesan dari Kiai Ma’ruf yang meminta saya menjadi wakil rais am.

Akhirnya saya minta waktu tiga hari utnuk melakukan tabayun kepada Kiai Ma’ruf untuk menyampaikan keberatan. Kiai Lirboyo dan Ploso juga mengirim fax keberatan. Pengurus wilayah NU Jawa Timur juga keberatan. Maka saya klarifikasi keberatan. Saya telepon Kiai Ma’ruf tapi beliau sedang rapat. Tak lama kemudian, Kiai Ma’ruf telepon saya. Saya katakan: “Bagaimana ini, Kiai? Saya tidak mampu, saya banyak kekurangannya.” Beliau menjawab: “Sama, saya juga tidak mampu. Mari kita bersama-sama. Kalau soal keberatan kiai-kiai Lirboyo dan Ploso, nanti saya yang jawab.” Kiai Ma’ruf tetap memaksa saya.

Beberapa hari setelah itu, ada pertemuan tim formatur di rumah Kiai Ma’ruf di Jakarta. Saya diundang, maka saya datang. Saya ingin menyampaikan keberatan secara langsung karena selama ini hanya melalui telepon.

Awalnya saya menunggu di lantai bawah, kira-kira satu jam. Setelah itu saya dipanggil ke lantai atas. Kia Ma’ruf mengatakan: “Saya sudah rapat dengan tim formatur dan menetapkan Kiai Miftah sebagai wakil rais am.” Saat itu langsung saya tolak. Tapi katanya sudah tidak bisa ditolak karena sudah diputuskan.
Akhirnya saya seperti orang stres. Tiba-tiba perut saya sakit, sehingga saya tidak ikut rapat penentuan pengurus.

Kalau Kiai Miftah ke PBNU, bagaimana dengan kekosongan Rais Syuriah di PWNU Jawa Timur?

Sudah diputuskan. Pejabat Rais Syuriah PWNU Jawa Timur adalah KH Anwar Manshur. Saya sendiri sudah lama mengadakan pendekatan dengan beliau. Saya melihat ketulusan dan kewibaan beliau sebagai kiai sepuh. Selama ini beliau sabar mendampingi saya.
Awalnya beliau menolak. Tapi saya ajukan berbagai alasan. Saya katakan: “Kalau panjenengan tidak mau, maka saya tidak mau ke PBNU.”

Ada kritik dari kalangan muda NU soal susunan pengurus PBNU yang didominasi orang-orang partai, bagaimana Kiai?

Iya, saya menerima masukan dari beberapa kalangan. Suara-suara itu sebenarnya sudah saya dengar sendiri. Salah satu yang menjadi masalah kan Sekjednya dari partai. Kalau Pak Slamet Efendy Yusuf ini kan sudah lama pensiun dari partai. Di pengurusan yang lalu beliau juga sudah masuk di jajaran Ketua PBNU. Saya juga mendengar di lembaga-lembaga banyak dari kalangan partai, tapi saya belum tahu nama-nama yang dimunculkan.

Memang ada kekhawatiran NU dibuat tempat penyelamatan diri dari kasus-kasus yang menerpanya. Tapi juga bisa dianggap NU itu sakti, sehingga kalau kena kasus berlindung di NU akan aman. Tapi kalau memang betul itu, cobalah kita dibicarakan secara baik. Yang jelas, mereka yang duduk di situ bukanlah karena sebagai kader partai tapi karena kemampuannya. Tidak membawa-bawa partai dan tidak berbau partai.

Soal mereka yang rangkap jabatan, Kiai?
Kalau di dewan itu tidak termasuk rangkap jabatan yang dilarang. Tapi kalau sudah menduduki jabatan di fraksi atau apalah, itu yang tidak boleh. Pokoknya yang dilarang itu kalau rangkap dengan menjabat unsur kepeminpinan di dewan, kepala daerah seperti bupati, wali kota dan gubenur. Keputusan itu diambil saat muktamar di Makassar. Mereka boleh menjadi pengurus asalkan bukan rais am dan ketua umum atau rais dan ketua.

Setelah muktamar di Jombang masih ada beberapa pengurus cabang dan wilayah yang kecewa. Apakah PBNU sudah ada langkah menyatukan mereka?
Setelah pengukuhan akan gerak menangani itu. Tujuan pertama mengajak mereka rujuk ilal haq. Di fikih kita itu tidak boleh menolak, apapun keyakinan dan anggapan mereka tantang cacatnya tata cara yang dilaksanakan dalam muktamar. Kalau memang ini sudah menguasai medan atau masyoritas, secara dharurat mereka sebagai pengurus yang sah.

Sebenarnya yang tidak dharurat dalam fikih kita itu prosesnya ada penunjukkan seperti Sahabat Abu Bakar menunjuk Sahabat Umar atau ada proses perwakilan seperti terpilihnya Sahabat Ustman. Tapi yang tidak terbacara oleh teman-teman kita, ada yang namanya taghallub atau istilaul wilayah, yaitu menguasai secara paksa kekuasaan itu karena mempunyai kekuatan massa dan kekuatan dukungan. Cara terakhir ini tetap sah jika syarat-syarat penunjukan atau perwakilan tidak terpenuhi. Ini tetap sah, tapi menurut saya sah secara dharurat.

Seperti hasil muktamar ini. Kalau mereka menganggap tidak sah karena cacat hukum, sebenarnya sah menurut fikih, tapi sah yang dharurat. Lah tinggal bagaimana caranya kita nanti bisa menghilangkan dharurat ini karena menurut kaidah ushul fikih, dharurat tidak boleh dilesetarikan kecuali kalau memang zamannya sudah sulit.

Sebagai wakil rais am, apa pesan-pesan kiai untuk Nahdliyin, terutama kaum muda NU?
Tiada lain khidmah dan ketaatan. Itu harus. Saya kira khidmah dan ketaatan akan mengeluarkan kesaktian dan wibawanya, tentu ditopang dengan segala sesuatu. Kalau ada hal-hal yang tidak baik harus tabayun dan klarifikasi. Kita ini selalu menerima informasi tanpa melalui klarifikasi. Manakala ada tudingan-tudingan di PBNU, itu harus ada tabayyun. Misalnya melalui dialog. Kalau tidak bisa tentu ada forumnya yang agak ekstrim, yaitu mubahalah. Selama ini anak muda sering menuduh. Dalam waktu dekat ini saya upayakan akan ada forum tapi harus dibahas secara benar, jangan sampai pengetahuannya yang ngambang lalu mudah memvonis tidak benar. Imam Asy’ari mengatakan, manakala kalian bertemu dengan orang secara dhahir mengatakan kata-kata kufur, maka jangan langsung dituduh kufur dulu. Tapi harus tabayun. Siapa tahu dia mengatakan seperti itu dalam keadaan tertekan dan ada sesuatu di balik itu.

Jadi khidmah, ketaatan dan klarifikasi inilah yang harus dijaga. Sikap ketaataan dan sami’na wa atha’na kelihatannya sederhana, namun Al-Qur’an menyatakan justru di situlah letak kenikmatan-kenikmatan. Artinya Allah banyak memberikan kenikmatan di saat sikap sami’na wa atha’na mencapai kualitasnya.

Belakangan juga muncul istilah NU garis lurus yang , bagaimana menurut Kiai?
Saya sendiri pernah mengingatkan tokohnya. Waktu itu belum muncul NU garis lurus, saya sering di-sms dan saya balas: “Semua itu tolong diklarifikasi. Meskipun itu dakwah, bukan seperti itu caranya. Harus diklarifikasi.” Akhirnya ada NU garis lurus. Mereka itu mudah menuding orang begini-begitu. Itu sama saja dengan aliran keras. Keras yang mendekati khawarij.

Sumber: Majalah Aula edisi Oktober 2015

Leave a reply