Saat Kedaulatan Negara di Ujung Tanduk

Sudah tidak terhitung reaksi masyarakat di akar rumput yang dipandegani kawan aktifis Nahdlatul Ulama untuk melawan gerakan separatisme gaya baru. Dikatakan gaya baru lantaran mereka tidak melakukan upaya penggulingan pemerintahan lewat pasukan perang dan kekuatan militer serta senjata.
Disebut separatisme karena mereka secara sitematis telah tidak mengakui eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ingin menggantinya dengan sistem lain yakni khilafah. Dengan segala propaganda dan upaya serius, sedikit demi sedikit usaha merongrong NKRI telah dilakukan secara terencana.
Seperti disampaikan di atas, yang digunakan tidak lagi penggalangan pasukan, namun lewat pemanfaatan media sosial. Mereka ternyata mampu menarik minat sejumlah kelas sosial, khususnya generasi muda lewat berbagai iming-iming yang ujungnya adalah menggugat kedaulatan negara.
Upaya sosialisasi juga dilakukan dengan topeng pengajian umum maupun tabligh akbar. Demikian pula sarana mencuci otak generasi muda ditempuh dengan memanfaatkan kajian keagamaan kampus dan aktifitas kepemudaan. Sehingga, perlahan namun pasti, mereka mampu menggaet para anggota baru militan untuk diajak bersama menggugat NKRI lewat berbagai sarana.
Apakah masyarakat tidak melakukan perlawanan? Lewat NU, upaya mengingatkan ancaman ini sebenarnya telah nyaring disampaikan. Bahkan tidak sedikit release dan rekomendasi diberikan usai kegiatan seminar dan pelatihan. Prinsipnya, bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara nyata ada di depan mata.
Tidak semata pernyataan sikap yang dilakukan NU bersama badan otonom, lembaga serta para simpatisan yang turut miris dengan tergerogotinya kedaulatan negeri ini. Perlawanan fisik juga kerap dilakukan, bahkan tidak sedikit yang berakhir pengusiran. Hal tersebut tentu diawali dengan upaya dialog, akan tetapi kerap tidak diindahkan.
Upaya sistematis yang dilakukan kelompok masyarakat yang dengan sangat terbuka tidak sepakat dengan Pancasila, ternyata demikian subur terjadi di sejumlah pelosok negeri. Sebagian dilakukan dengan cara seminar, pengajian umum, halaqoh, simposium, dan sejenisnya. Tentu tidak dapat dipungkiri kalau mereka juga melakukan sosialiasasi dengan kegiatan yang tidak kentara di permukaan, yang bisa jadi efeknya lebih dahsyat dan kian mengancam NKRI.
Yang disayangkan adalah, ternyata kerap terjadi aparat justru menjadi penyokong gerakan ini. Para pimpinan daerah, tidak sedikit yang justru memberikan lampu hijau bagi tumbuh suburnya gerakan separatisme tersebut.
Bila sudah seperti ini, jangan heran kalau apa yang yang dilakukan NU dengan sejumlah perangkatnya justru tidak diapresiasi positif khalayak. Meminjam istilah para sahabat jaman pertama kali Islam diturunkan, NU dengan kalangan yang konsisten menjaga kedaulatan negara layaknya kelompok al-ghuroba’ atau “orang aneh” dan asing.
Namun, NU senantiasa hadir kala negara membutuhkan. Berkontribusi walau harus dikucilkan dan kehilangan harta, hingga nyawa sekalipun. Sehingga jangan heran kalau perlawanan terhadap sejumlah kalangan yang mempersoalkan NKRI, akan terus terjadi. Itu sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa para ulama, kiai dan syuhada yang telah gugur mempertahankan negeri ini. Tanpa diperintah sekalipun, NU senantiasa hadir membela kedaulatan negeri tercinta ini. (Syaifullah Ahmad Nawawi)