Teori-teori Prematur dan Apriori Seputar Insiden Tol Cikampek.

oleh: M Kholid Syeirazi
Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU).
Ada tiga teori, yang saya saring berdasarkan berbagai opini yang tersiar.
1. Polisi telah melakukan pembantaian brutal terhadap warga sipil yang tak bersenjata.
Ini jelas prematur. Sumbernya hanya keterangan sepihak dari FPI. Dari mana kita tahu laskar khusus itu tidak bawa senpi? Voice Note hanya merekam kejadian sebelum ‘baku tembak’.
2. FPI perusuh bangsa, layak dieksekusi.
Banyak orang, termasuk saya, punya kesan buruk terhadap FPI. Soal tingkah FPI yang menggusarkan banyak orang, itu bukan apriori, tetapi a posteriori. Jejak hitamnya banyak sejak dia berdiri. Tetapi, peluru aparat tidak boleh menyasar sembarang orang.
Sebelum ada investigasi, kita tidak tahu persis, betulkah telah terjadi ‘baku tembak’? Baku tembak mengandaikan para pihak membawa senpi. Kalau hanya satu pihak, itu namanya eksekusi. Mengeksekusi nyawa orang, meskipun dia kriminal, harus punya alasan berdasarkan undang-undang.
Aparat punya alasan untuk bertindak jika nyawanya terancam. Tetapi, yang kita belum tahu, kenapa keenamnya mati? Kenapa tidak dilumpuhkan terlebih dahulu? Padahal, aparat terlatih untuk melumpuhkan ‘musuh’ tanpa harus membunuh.
3. Enam orang laskar khusus FPI yang tewas adalah para syuhada’
Ini teori yang paling apriori, prematur, dan paling konyol. Dari mana kita tahu mereka itu syahid? Dalam Islam, kita hanya boleh mengulang kriteria syahid yang diajarkan Nabi. Kita boleh meniru dan mengulang ucapan Nabi seperti: “Barang siapa yang mati di jalan Allah dia syahid. Barang siapa yang mati mempertahankan hartanya (yang mau dirampas) dia syahid. Barang siapa yang mati karena wabah dia syahid.” Tetapi, kita dilarang memastikan dan menyebut seseorang itu syahid.
Ibn Hajar al-Asqalani, dalam Fath al-Bârî (Juz 6: 90), menegaskan larangan menunjuk seseorang yang mati berdasarkan kriteria syahid itu sebagai syahid:
« النهي عن تعيين وصف واحد بعينه بأنه شهيد ».
Bahkan, orang yang mati membersamai Rasulullah dalam perang pun tidak boleh disebut syahid, kecuali yang ditegaskan Nabi sebagai syahid. Dalam perang Khaibar, ini diceritakan dalam hadis sahih riwayat Muslim, para sahabat mengelu-elukan sahabat yang gugur dan berseru: ‘Si Fulan syahid, Si Fulan syahid.’ Ini terdengar Nabi. Nabi menyanggah: ‘Tidak, dia masuk neraka karena menggasab ghaniham’
« كلاّ إِنّي رأيْته في النّارِ في بردة غلّها أو عَباءَة ».
Ini pelajaran penting: orang yang gugur membersamai Nabi dalam perang saja tidak boleh kita sebut syahid, kecuali yang ditegaskan Nabi sebagai syahid, apalagi orang yang tewas membela tokoh yang tidak maksum, dengan orientasi perjuangan dan basis nilai yang relatif-hipotetis.
Kita tidak tahu persis apa yang dilakukan enam orang laskar khusus itu, sebagaimana para sahabat tidak tahu persis apa yang dilakukan sahabat yang gugur itu. Kita tidak bisa menyimpulkan sesuatu yang tidak kita tahu.
Sebagai orang yang tidak hadir dalam kejadian, lebih baik kita menunggu investigasi pihak yang kompeten, yang melibatkan tim independen, daripada mengembangkan teori-teori konyol dan prematur. Kita hanya menduga-duga, kenapa aparat—di era yang sudah sedemikian terbuka, langsung mengambil tindakan tegas dengan menewaskan laskar pengawal MRS.
Betulkah laskar itu mempunyai senpi? Jika betul, siapa pemasoknya?
Tidak menutup kemungkinan, jika laskar ini punya senpi, dia adalah jaringan teroris yang menyusup ke FPI. Ini mengulang pola lama. Sebagaimana investigasi Solahudin (2011: 247-48), dulu para alumni Afghanistan, yang dikoordinir oleh Ali Imron, membentuk laskar khos (pasukan khusus) dan menyusup ke gerakan buruh dan gerakan Islamis.
Mereka bergabung dalam KISDI, yang dipimpin Ahmad Sumargono, dan mendapat proyek untuk mendukung Habibie dalam rangka melawan mahasiswa dan buruh yang menolak pencapresan kembali Habibie sebagai Presiden.
Sopir Ahmad Sumargono, Abas, adalah alumni Afghanistan anggota Jamaah Islamiyah (JI). Melalui dia, uang para pendukung Habibie mengalir ke JI.
Sekarang sel JI sudah lumpuh, hampir mati. Sebagian aktivisnya sudah tobat. Yang masih aktif adalah JAD. Pola gerakan JAD lebih spartan dan sporadis. Tidak menutup kemungkinan, JAD membonceng figur Islam yang punya banyak pengikut sebagai sarana untuk melancarkan aksinya melawan aparat.
Sekali lagi, ini sekadar dugaan, berdasarkan pola lama. Ttitik terangnya hanya bisa terungkap dengan investigasi oleh tim yang kredibel dan independen.
Demikian catatan M Kholid Syeirazi, Sekjen Pimpinan Pusat ISNU.