Subhan ZE, Tokoh Muda NU yang Dihapus Sejarah

0
3359
Bagikan Sekarang

Oleh: Zulham Mubarak
Nama lengkapnya Subchan Zaenuri Echsan. Lebih populer dipanggil Subhan ZE. Tokoh muda NU inspirator suburnya gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, dan lain-lain. Figur politikus yang tajam, pemberontak, dan berani melawan rezim Presiden Soeharto. Meninggal misterius pada kecelakaan di Riyadh, Arab Saudi di usia 42 tahun dalam sebuah operasi intelijen. Nama Subhan dihapus oleh rezim Orde Baru dari sejarah Indonesia.

Subhan ZE lahir di Kepanjen, Malang Selatan, 22 Mei 1931. Tumbuh di lingkungan santri di Kudus, dan merupakan anak keempat dari 13 bersaudara. Ayahnya H. Rochlan Ismail adalah mubaligh, pedagang, dan pengurus Muhammadiyah di Malang. Sedangkan ibunya pengurus Aisyiyah. Sewaktu kecil dia diangkat anak oleh pamannya, H Zaenuri Echsan, Seorang pengusaha rokok kretek asal Kudus.

Subhan adalah potret generasi muda NU yang sukses di bidang ekonomi. Sejak usia 14 tahun sudah mengelola perusahaan rokok “Cap Kucing”. Pada usia 15, sudah rutin bepergian ke Singapura berjualan ban mobil dan truk, cengkeh dan cerutu. Saat Belanda memasuki Solo, ia mengordinir adik-adiknya untuk berjualan cerutu, roti dan permen kepada prajurit Belanda. Setelah dewasa, ia menetap di Semarang untuk mendirikan perusahaan ekspor dan impor.

Subhan ZE sempat nyantri di pesantren Kiai Noer di Jalan Masjid Kudus. Selain mengenyam pendidikan pesantren, ia juga mengikuti kuliah di Universitas Gadjah Mada sebagai mahasiswa pendengar. Dia pernah pula belajar di sekolah Dagang Menengah di Semarang dan ikut dalam kursus program ekonomi di Unversity of California Los Angeles.

Di masa pecah revolusi fisik, Subhan bergabung dalam Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) dan organisasi Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) dipimpin Bung Tomo.

Di usia yang kian matang, Subhan pindah ke ibukota Jakarta dan memiliki 28 perusahaan. Jaringan bisnisnya bahkan merambah hingga ke Timur Tengah. Ia menjadi pionir bisnis perjalanan haji dengan pesawat terbang melalui biro perjalanan Al-Ikhlas. Pada tahun sebelumnya, jamaah haji Indonesia berangkat dengan kapal laut.

Karir politik Subhan ZE dimulai pada 1953. Ketika itu dia duduk sebagai pengurus Ma’arif NU di Semarang. Tiga tahun kemudian pada Kongres NU di Medan, Idham Kholid terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Subhan ZE lalu muncul pada kongres itu sebagai figur NU muda potensial dan terpilih sebagai Ketua Departemen Ekonomi. Dan pada kongres berikutnya di Solo tahun 1962, Subhan terpilih sebagai Ketua IV PBNU.

Nama Subhan kian dikenal usai aksi pembunuhan para Jenderal 1 Oktober 1965. Ketika itu, suasana ibukota Jakarta sangat mencekam. Dan ratusan pemuda berkumpul di kediaman Subhan ZE Jl. Banyumas 4, Menteng. Mereka adalah para aktivis anti PKI. Berasal dari berbagai aktivis ormas Islam, Kristen, dan Katolik. Mereka mengonsolidir diri ke dalam Komando Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu yang dipimpin oleh Subhan ZE (NU) dan Hary Tjan Silalahi (PMKRI/Katolik).

Subhan ZE menjadi tokoh sipil yang mampu menggerakan massa untuk menuntut pembubaran PKI. Hal itu membuatnya disegani oleh kalangan petinggi Angkatan Darat.

Di masa itu, PKI melihat NU sebagai lawan politik dan ideologi. Subhan sebagai tokoh muda menunjukkan konsistensinya untuk melawan perkembangan ideologi komunisme. Ketidaksukaan Subhan terhadap komunisme tidak hanya ditunjukan di dalam negeri. Bahkan, selaku Vice President dari Afro Asia Economic Coorporation (Afrasec) tahun 1960-1962, ia pernah mengusir delegasi Uni Soviet dari persidangan di Mesir. Setibanya di tanah air dia sempat ditahan oleh pemerintah karena mempermalukan negara.

Walau masih muda, tapi Subhan sudah rutin diundang dalam konferensi ekonomi di luar negeri. Seperti The International Chambers of ECAFE, Afro Asian Economic Conference, dan masih banyak lagi. Subhan memiliki pengetahuan yang cerdas tentang ekonomi. Hal itu membuatnya sering diundang sebagai pembicara pada acara-acara seminar yang dilakukan berbagai universitas di Indonesia.

Kemampuan Subhan di bidang ekonomi antara lain terlihat ketika di awal Orde Baru. Pada 1966, berlangsung sebuah diskusi di kampus UI Salemba dengan topik kebijakan ekonomi yang selayaknya ditempuh pemerintahan baru. Saat itu pembicaranya adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, dan Subhan ZE.

Kedua ekonom lulusan Berkeley AS yang dipandang mumpuni itu dalam pandangan sebagian pihak yang hadir tampak kewalahan dalam menghadapi pemikiran Subhan. Mutlak, makin banyak mahasiswa dan aktivis pergerakan yang mengidolakannya.

Di tahun yang sama, Subhan diangkat sebagai Wakil Ketua MPRS. Di posisinya tetap konsisten mendesak pembubaran PKI dan menuntut pertanggungjawaban Soekarno sebagai Presiden. Soeharto yang diuntungkan dari rencana makar PKI dikukuhkan sebagai Presiden oleh MPRS tahun 1968.

Setelah pelantikan Presiden Soeharto, Subhan tak berhenti menjadi “pemberontak”. Dia berbicara keras tentang gaya Soeharto yang mengamputasi perangkat demokrasi dalam lembaga legislatif. Kritik keras dia sampaikan dalam pidato sebagai wakil ketua MPRS. Ia menuding kaidah-kaidah Orde Baru mulai kabur dan tidak lagi melandasi perjuangan bagi seluruh komponen.

Subhan menyatakan, mesin politik Orde Lama justru mendapat jalan melalui sel-sel koruptif, intrik, dan konspirasi yang makin merajalela di era Soeharto. Dengan tajam, ia mengoreksi pemerintahan Soeharto yang sengaja menunda penyelenggaraan pemilu 1968 menjadi 1973. Berkat perlawanan gigihnya pemilu bisa berlangsung tahun 1971.

Jelang pemilu, konfrontasi terbuka Subhan dengan Soeharto justru meruncing. Dia mengkritik keras Mendagri Jenderal Amir Machmud agar menjadi wasit yang adil dalam dan jangan main “bulldozer” dalam politik. Kritik itu terkait dengan keluarnya Permendagri No 12/1969 yang melarang keterlibatan anggota departemen (PNS) di dalam partai politik. Kebijakan itu jelas hanya menguntungkan Golkar. Ia menyebut Permendagri tersebut tidak memenuhi syarat perundang-undangan dari sudut formal karena bertentangan dengan UU No 18/1968.

Kritik-kritik terhadap rezim Orde Baru juga dia sampaikan selama masa kampanye untuk Partai NU. Pidato politik Subhan saat berkampanye kerap menggunakan istilah “jihad” untuk mengobarkan semangat politik umat Islam. Istilah “jihad” kemudian digunakan oleh Soeharto dalam pidato tanpa teksnya.

Soeharto menyatakan, setiap usaha “jihad” yang selalu dikobar-kobarkan golongan tertentu akan dihadapi oleh pemerintah dengan semangat “jihad” pula. Komentar Soeharto di wilayah publik ditujukan hanya kepada Subhan.

Berkat kerja keras Jusuf Hasyim, Syaifudin Zuhri, KH. A. Syaichu, dan terutama Subhan ZE, berhasil menempatkan Partai NU dalam dua besar Pemilu 1971. Persis di bawah Golkar. Menguasai 69,96 persen suara yang diperoleh partai-partai Islam. Itulah prestasi terbesar NU dalam kapasitasnya sebagai partai politik.

Usai pemilu, ia bersama Nasution menulis Buku Putih yang berisi Laporan Pimpinan MPRS 1966-1972. Belum sempat diedarkan secara luas, buku itu disita dan dimusnahkan oleh Kopkamtib karena berisi sejumlah kecaman.

Subhan ZE tidak setengah hati dalam berpolitik. Hingga intervensi dan tekanan dari rezim Soeharto membuatnya kehilangan karir politik. Pengurus Besar Syuriyah NU lewat suratnya N.004/Syuriyah/c/1972 yang ditandatangani oleh Rois Aam KH. Bisri Syamsuri kemudian memecat Subhan ZE sebagai anggota NU.

Subhan menolak pemberhentian itu dan melawan balik. Tetapi mayoritas cabang NU mendukung pemberhentian Subhan. Hal itu menguatkan kesan bahwa prototipe kepemimpinan Subhan yang terlalu kritis dan vokal terhadap pemerintahan Soeharto tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat pedesaan dan kultur tradisional.

Kritik-kritik tajam pada pemerintah dan popularitasnya yang terus meningkat adalah ancaman bagi rezim Soeharto. Perilaku koruptif rezim jelas dia benci. Kebencian itulah yang membuat dia meninggal di usia 42 tahun.

Kematiannya yang tiba-tiba banyak mengejutkan banyak orang. Terutama kalangan kaum muda yang selalu setia mengidolakannya. Kejadian ini terjadi setahun setelah pemecatan Subhan dari NU.

Hingga saat ini kepergiannya masih menjadi misteri. Karena saat itu Subhan berencana melakukan pertikaian politik terhadap rezim Soeharto setelah pulang dari Mekkah. Beberapa sumber mengatakan, wfatanya tak luput dari “campur tangan” CIA yang berada di balik suksesi Orde Baru.

Sebelum meninggal, dia memberikan wawancara eksklusif koresponden AFP, Brian May, tentang jaringan bisnis Soeharto yang ada di Singapura, Belanda, dan AS.

Kecelakaan yang merenggut nyawa Subhan cukup janggal karena supir mobil justru lolos hanya dengan luka ringan. Usai wafat, referensi tertulis, biografi dan kisah tentang Subhan ZE dihilangkan perlahan dari sejarah. Namun, namanya masih sempat diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Kudus, Jawa Tengah.

Kisah hidup Subhan ZE menandakan bahwa semangat pemuda selalu kebal terhadap impunitas, pembunuhan karakter, dan bahkan upaya penghilangan paksa dari sejarah! Majulah generasi muda NU! Ayo Majulah Ansorku!.

Zulham Mubarak: Ketua Departemen Advokasi dan Kebijakan Publik PC GP Ansor Kabupaten Malang.

*)disarikan dari berbagai sumber.

Leave a reply