Sepenggal Kisah Detik Terakhir Bersama Gus Dur

0
1260
Bagikan Sekarang

Oleh: Aguk Irawan*

Kondisi kesehatan Gus Dur menurun drastis. Sinta dan putri-putrinya tetap setia menemani Gus Dur yang tengah berbaring di rumah sakit RSCM itu. Dalam keadaan yang seperti itu, Gus Dur tampak tetap tegar, tetap tabah, tetap pasrah. Pak Acun, sang asisten setia, tampak selalu hilir mudik melaksanakan perintah-perintah Gus Dur. Lelaki tua yang tak pernah melepaskan pecinya itu, terkadang diminta Gus Dur untuk mengambilkan buku-buku dan kitab-kitab kuningnya di rumah, untuk dibawa ke sini, terkadang pula diminta untuk bertemu dengan orang itu atau orang ini.

Ketika Sinta merasa kelelahan, Pak Acun lah yang menggantikan peran Sinta untuk membacakan buku-buku di dekat pembaringan Gus Dur. Begitu Pak Acun kelelahan, dan anak-anak tengan keluar untuk mengerjakan tugas masing-masing, Sinta yang selalu duduk di atas kursi roda itu, memutar roda-roda kursinya, merapatkan tubuhnya ke pembaringan sang suami.

Kini, di ruangan itu, tinggalkan Gus Dur dan Sinta. Jiwa Sinta yang selalu dipenuhi cinta dan kerinduan itu, mengalirkan kepedihan dan menumpahkan air mata. Ia sorongkan tubuhnya ke dada suaminya. Ia peluk tubuh suaminya itu dengan kedua tangannya yang gemetaran.

“Kau jangan sedih, istriku. Janganlah bersedih…”

Sinta terus terisak. Ujarnya, “Bagaimana aku tak bersedih, sementara kau berbaring seperti ini. Maut tidak akan bisa memisahkan kita.”

“Maut tidak akan memisahkan kita. Kita hanya berpisah sementara saja.”
“Aku tidak mau, suamiku. Aku tidak mau. Bagaimana aku akan hidup jika kau meninggalkanku? Bagaimana aku bisa kuat, sementara tongkat hidupku akan patah?”
“Aku masih di sini. Kita masih bisa bersama. Kau tetap cantik, seperti pertama kali kumelihatmu di kelas itu…”
“Kau pun tetap gagah, mas. masih terngiang di benakku lagu Gugur Bunga yang kau nyanyikan itu…”
“Kita adalah pelangi di langit….”
“Pelangi tercipta karena hujan dan matahari. Bagaimana mungkin muncul pelangi jika matahari tak ada, dan yang tersisa hanya hujan belaka? Kau matahariku. Akulah hujanmu. Pelangi ada karena kita berdua ada. Aku tak mau kau tinggalkan, wahai suamiku…”

“Ke sinilah, biarkan aku mengecup keningmu…”
Dengan sekuat tenaga, melawan kedua kakinya yang tak bisa dijejakkan, Sinta menyorongkan tubuhnya. Menyorongkan keningnya untuk dikecup sang suami tercinta. Lalu ia mencium kening sang suami hingga air matanya jatuh di kening suami tercinta.

Setelah dengan susah payah saling berganti mengecup kening dan berengkuhan, kedua ubun-ubunnya sama-sama basah oleh airmata, dan seakan hujan tercipta dari kedua pasang mata itu dengan lebatnya. Lalu Gus Dur mengatakan sesuatu.

“Sinta, maukah kau beri aku pemandangan yang terindah di dunia?” Ujarnya dengan terbata dan gemetaran di pembaringan.
“Apa…itu, Mas Dur?” Jawab sinta tak kalah terbatanya.
“Jika nanti saatnya aku memejamkan mata dan dimakamkan, tak boleh ada air mata yang meluap dan basah di pipimu lagi?”

Di salah satu sudut kamar RSCM itu sebagai saksi, sepanjang malam ada sepasang kekasih yang dua pasang matanya terus basah oleh air mata, tetapi kedua bibirnya sekuat tenaga saling menunjukkan untuk tersenyum dan mengenang sesuatu yang indah ketika masa muda. Demikianlah, telah tercipta hujan, telah tercipta matahari, maka lahirlah pelangi yang begitu menawan sebagai sebuah kisah.

*Penulis novel (s@if)

Leave a reply