Pendidikan Ma’arif, Patner Strategis Pemerintah Atasi Kesenjangan Pendidikan

oleh: Mochammad Fuad Nadjib
SUDAH satu tahun lebih Pandemi Covid-19 menghantui Indonesia yang juga berefek pada dunia pendidikan, sekolah – sekolah yang biasanya pembelajaran tatap muka diganti study from home atau belajar di rumah akibat efek domino karena penyebaran pandemi covid-19, maka teknologi ialah satu hal yang paling ditonjolkan.
Seakan-akan dengan hadirnya teknologi seluruh persoalan pendidikan dapat diselesaikannya. Keadaan semacam ini menjadi problematik, sebab sekolah, pendidik, dan peserta didik yang tersebar seantero negeri dari Aceh hingga Papua jelas tidak seragam baik sosiologi, antropologi, maupun kondisi ekonominya.
Satu hal yang luput dalam dikursus semacam ini ialah ketidakberpihakan negara terhadap kaum miskin. Apakah dengan imbauan belajar dari rumah (SFH) dapat menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan? Ketidaksetaraan peserta didik membuka mata kita, bahwa pendidikan kaum miskin yang dibiarkan rapuh dan telanjang tanpa perlindungan sedang digilas globalisasi dihajar oleh hedonisme teknologi.
Dalam hukum alam manusia bebas bertingkah dan bertindak. Kendati pilihan yang tersedia cenderung aksiologi. Sedangkan dalam hukum pasar hanya mereka yang kuat secara kapital yang akan keluar sebagai pemenang. Begitu pun yang terjadi di dunia pendidikan. Hanya kelas sosial menengah atas yang dapat mengakses pendidikan bermutu.
Sistem Zonasi
Sistem Zonasi misalanya, dalam system tersebut sangat bagus sekali memang untuk pengawasan peserta didik oleh masyarakat sekitar, yang mana masyarakat juga ikut memantau peserta didik terutama dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar, akan tetapi pada prakteknya sitem zonasi belum terlalu merata karena tidak semua kecamatan ada sekolahan negeri yang dianggap masyarakat adalah sekolah berkualitas dan akhirnya banyak oknum yang ikut bermain dalam “membantu” memasukkan peserta didik dengan ditarif biaya. Pendek kata, ingin masuk sekolah negeri ditentukan dengan berapa uang yang dimilikinya untuk bisa masuk ke sana.
Akibatnya kita merasakan sekarang; mahalnya ongkos pendidikan hanya memproduksi kelas elitis di satu pihak, dan memproduksi struktur kemiskinan di pihak yang lain. Serta melahirkan kesenjangan yang makin lebar antara si kaya yang dapat belajar di Sekolah Negeri dengan si miskin yang tidak dapat mengakses Pendidikan di Sekolah Negeri.
Persoalan kesenjangan dalam pendidikan dengan sendirinya akan membuat kreativitas peserta didik tumpul. Jangan berharap anak dari keluarga miskin akan mendapatkan rangking satu di kelasnya. Atau kelak jika dewasa dapat duduk manis sebagai jajaran direksi di perusahaan BUMN. Jika pun ada maka presentasinya sangat kecil. Pendidikan tidak pernah memihak pada kaum miskin.
Karena memang pendidikan tidak didesain untuk membuat mobilitas vertikal dari kelas menengah-bawah menjadi kelas atas. Akhirnya kita menyadari apa yang dikritik oleh Freire, tanpa kesadaran tidak akan melahirkan critical language dan critical subjectivity. Sebab, dalam liberalisasi pendidikan bukan kesadaran yang menjadi metode, melainkan kapital yang membuka gembok keberhasilan.
Apalagi mengingat banyaknya angka peserta didik yang putus sekolah, seperti dikutip dari laman IDN Times (2019): pada tahun 2016 sekitar 4,6 juta anak usia 7-18 tahun tidak bersekolah. Artinya akan ada persoalan pembangunan SDM di kemudian hari. Tentu ini menjadi kabar buruk bagi kaum miskin. Di era pasca-fordisme antara buruh dan pengangguran menjadi sumir. Kategori status miskin dan status tidak miskin menjadi politis.
Lalu apa yang dapat dilakukan kaum miskin di tengah bencana: kemanusiaan dan sosial seperti hari-hari ini? Terbukti di tengah pandemi covid-19 berbagai persoalan belajar di rumah (SFH) muncul silih berganti. Mulai dari peserta didik ‘berkebutuhan khusus’, belum siapnya system, pendidik dan orang tua untuk menghadapi SFH dll.
Oleh karenanya, otoritas pendidikan harus menyiapkan formula bagi pendidikan kaum miskin. Puja-puji pembelajaran dengan ‘digital ecosystem’ dan berbagai layanan belajar komersial lainnya dengan mekanisme daring (online) terbukti hanya dapat diakses oleh kelas sosial menengah atas. Artinya pendidikan yang setara harus dijawab dengan ketajaman metodologi, bukan dengan memaksakan ideologi.
Tentu kita tidak ingin ekosistem pembelajaran digital yang digembar-gemborkan oleh satu pihak, menyebabkan dehumanisasi di pihak yang lain. Jika pembelajaran digitalisasi ialah sebuah keniscayaan, maka kegembiraan itu tidak boleh melupakan keutamaan kesetaraan dalam pendidikan. Kaum miskin bukan golongan yang dipinggirkan.
Eksistensi LP Maarif NU
Dari sini NU dengan Lembaga Pendidikan Ma’arif berkhitmah di dunia pendidikan yang mana Ma’arif adalah kepanjangan tangan langsung NU didalam dunia Pendidikan, Ma’arif harus mempunyai standar dan indikator, serta arah yang beda yang menjadi distingsi Lembanga Pendidikan di bawah naungan NU dengan Lembaga Pendidikan yang lain.
Selain murah dan mudah diakses oleh semua kalangan masyarakat, Ma’arif juga mulai mengawasi dan memantau dengan serius masalah kualitas, mutu, dari Lembaga Pendidikan yang dimiliki NU, yang nantinya juga akan berpengaruh pada kuantitasnya, supaya anggapan masyarakat bahwa Pendidikan swasta adalah Pendidikan kelas dua atau kurang bergengsi tidak lagi menempel pada satuan Pendidikan dibawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’ari NU.
Selama ini, indikator madrasah/sekolah bermutu hanya sebatas pada tiga aspek. Pertama, muridnya banyak. Kedua, bangunannya bagus, bertingkat, dan sarpras lengkap. Ketiga, akreditasinya bagus, minimal B. That’s all! Masak sekadar itu?
Kemdikbud melalui rumusan World Economic Forum (WEF) 2016, merumuskan tiga rumusan indikator kemajuan SDM bangsa, yaitu “kompetensi, karakter, dan literasi”. Sedangkan di era Mas Menteri Nadiem Makarim, rumusan indikator kemajuan atau mutu pendidikan itu diubah menjadi “numerasi, literasi, dan karakter”. Intinya hampir sama dengan yang awal. Tampaknya, karakter di era Mas Menteri dinomortigakan. Tapi LP Ma’arif, punya kelebihan dari rumusan indikator sederhana yang secara umum dirangkai dalam “Merdeka Belajar” yang kemudian dapat diterjemahkan ke 8 (delapan) standar nasional pendidikan.
Kelebihan Sekolah Swasta adalah bisa mengeksplorasi ide-ide, atau gagasan- gagasan baru dalam lingkungan ataupun kebijakan sekolah sebagai nilai plus yang bisa menjadi keunggulan daripada sekolah negeri yang harus mengikuti peraturan yang dibuat pemerintah secara saklek dan terkadang kurang bisa dieksplorasi.
Melalui program-program yang LP Ma’arif suguhkan, optimisme dan keyakinan akan melejitnya atau mengakselerasi kemajuan madrasah/sekolah LP Ma’arif NU, karena LP Ma’arif NU mempunyai banyak satuan Pendidikan dari jenjang MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK. Sebarannya, di bawah BHPNU-LP Ma’arif ada banyak dan menyebar disetiap desa-desa atau ranting NU belum yang di bawah Yayasan dan berafiliasi dengan LP Ma’arif NU, mulai Lembaga atau satuan pendidikan yang belum terakreditasi sampai yang mempunyai Akreditasi “A”.
Secara kualitas dari aspek akreditasi yang di dalamnya ada pemenuhan 8 standar nasional pendidikan sudah final. Sebagian madrasah/sekolah di LP Ma’arif NU yang belum terakreditas itu dipastikan lembaga baru yang proses akreditasi.
Belum lagi jumlah tenaga pendidik yang ada disatuan pendidikan LP Ma’arif NU, meski guru-guru di Ma’arif tidak PNS, mereka tetap bekerja dan tidak pernah melahirkan generasi yang radikal apalagi melawan dan berkhianat pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Final! Apakah hanya itu? Tidak.
Di internal LP Ma’arif NU, ada puluhan ribu guru sudah melakukan pengkaderan yang diselenggarakan NU yang menjadi system final untuk kaderisasi generasi moderat. Hal itu juga didukung adanya Komisariat IPNU-IPPNU di masing-masing sekolah.
LP Ma’arif NU juga sejak lama berikhtiar melakukan akselerasi dengan beberapa formula. Pertama, penguatan kurikulum Aswaja Annahdliyah dengan standar fikrah, standar amaliah, dan standar harakah. Pada jenjang MI/SD menekankan amaliah dan pembiasaan. Jenjang MTs/SMP menekankan pengenalan dalil atau dasar hukum. Jenjang MA/SMA/SMK menekankan cara berpikir filosofis, sistematis, dan kritis.
Selain itu, implementasi kurikulum Aswaja juga diintegrasikan dengan kitab-kitab kuning hasil rekomendasi LBM NU dan Aswaja NU Center yang sudah ditashih.
Kedua, peningkatan mutu tenaga pendidikan dengan sekolah Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Guru Madrasah/Sekolah Ma’arif. Cakupannya ada tiga, yaitu pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Materi PKB itu secara umum dari perencanaan pembelajaran, pengenalan pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran, dan perangkat-penilaian pembelajaran.
Ketiga, Gerakan Literasi Ma’arif (GLM). GLM adalah gerakan atau usaha yang terstruktur, sistematis, terencana dalam meningkatkan kualitas literasi di dalam pembelajaran maupun di luar pembelajaran di sekolah dan madrasah LP Ma’arif dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang dikuatkan melalui karakter berprinsip dari PPK dan Aswaja Annahdliyah.
Bentuk GLM ada tiga. Pertama, Gerakan Literasi Karya Jurnalistik (penulisan berita, feature, laporan kegiatan, pendidikan dan pelatihan jurnalistik).
Kedua, Gerakan Literasi Karya Tulis Ilmiah (penulisan artikel ilmiah, artikel populer (opini/esai), resensi buku ilmiah, pendidikan dan pelatihan KTI, perlombaan LKTI).
Ketiga, Gerakan Literasi Karya Sastra (penulisan puisi, cerpen, pendidikan dan pelatihan karya sastra), perlombaan, pelatihan-pelatihan, relawan literasi dengan model praktik sinergi dan praktik mandiri.
Keempat, penguatan karakter Aswaja Annahdliyah melalui kurikulum Mopdik, Bintek guru Ke-NU-an, Satuan Komunitas Pramuka Ma’arif NU, IPNU-IPPNU, Pagar Nusa, dan Senam Islam Nusantara.
Kelima, program Sistem Informasi Ma’arif NU yang merupakan program bernas karena meneguhkan Ma’arif go to digital dan tidak ketinggalan zaman.
Itulah beberapa kelebihan belajar, sekolah, atau sinau di madrasah/sekolah Ma’arif NU. Maka tema Harlah Ma’arif tahun 2021 ini “Berkhidmat Melalui Pendidikan Ma’arif, Yang Inovatif dan Responsif di Era Digital” nantinya tidak hanya omong kosong, melainkan menjadi nyata ketika program di atas didukung dan diimplementasikan semuanya. Selamat Harlah ke-92 LP Ma’arif NU (19 September 1929 – 2021).
Mochammad Fuad Nadjib,
Kepala Sekolah SMK Diponegoro Sidoarjo