
SOLO – Perkembangan zaman sekarang haruslah direspon secara kreatif oleh pesantren. Era digital dan teknologi, serta bertumbuhnya kelas menengah muslim, perlu diadaptasi oleh pengelola pesantren serta komunitas santri.
Hal inilah yang menjadi isu penting dalam Workshop Pemikiran Pesantren, yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kementrian Agama bekerjasama dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) NU yang digelar di Hotel Alana, Solo, Jawa Tengah, mulai Rabu (7/9/2016) sampai Jumat (9/9/2016).
Dalam agenda workshop ini, membahas ‘Peta Pesantren dan Tantangan Kontemporer’ yang menghadirkan narasumber KH. Abdul Ghaffar Rozien (Ketua PP RMI NU), KH. Lukman Harist Dimyathi (Pengasuh Pesantren Tremas Pacitan, Jawa Timur), dan KH. Zahrul Azhar Hans (RMI NU Jawa Timur), yang dimoderatori peneliti Islam Nusantara, Munawir Aziz.
Dalam rilis yang dikirim pada pwnujatim-online, KH. Abdul Ghaffar Rozien atau Gus Rozien mengungkapkan, pesantren saat ini harus siap merespon perkembangan zaman dengan tumbuhnya kelas menengah muslim dan revolusi teknologi.
“Saat ini, kelas menengah muslim tumbuh secara drastis, ini perlu dipahami komunitas pesantren. Bagaimana menangkap peluang ini, juga adanya perkembangan teknologi dan media sosial,” ungkap Gus Rozien, yang juga Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen Pati, Jawa Tengah.
Menurut Gus Rozien, komunitas pesantren harus siap membaca perkembangan zaman. “Negara ini sedang beranjak menuju penataan sistem yang lebih baik. Karena itu, hal-hal terkait dengan administrasi dan legal juga harus dikelola,” terangnya.
Gus Rozien juga menyoroti tentang rencana Hari Santri Nasional, dan Gerakan Ayo Mondok yang menjadi agenda bersama.
Sementara, Gus Lukman Dimyathi menegaskan, saat ini sudah tidak ada lagi dikotomi pesantren formal dan non-formal. “Sekarang ini kita harus melepaskan stigma formal dan non-formal. Pesantren sudah diakui oleh negara. Selain itu, kita juga harus siap dengan perkembangan,” jelas Gus Lukman.
Dalam ilustrasinya, Gus Lukman mengajak para pengasuh pesantren yang hadir dalam workshop, untuk mengubah cara berpikir. Menurutnya, sudah saatnya berbenah.
“Kita juga mulai melihat status salaf pesantren dari sistem pembelajarannya, dari isinya, bukan bangunannya,” ungkapnya.
Gus Lukman mencontohkan, pesantren salaf diukur dari pembelajaran kitabnya, meski bangunannya mentereng dan megah. Bukan hanya dari sisi bangunannya yang kuno dan cenderung kotor.
Pembicara lain, Gus Hans menginginkan bahwa santri saat ini harus berbagi tugas. Yaitu ada yang mengurus konten, ada yang mengawal citra atau casing. Sehingga saling bersinergi.
Dalam workshop ini, diungkapkan peran penting pesantren dalam perkembangan Islam pada saat ini. Tantangan radikalisme, terorisme dan paham keagamaan yang kaku, perlu direspon dengan gerakan dan strategi oleh pesantren. (red)