Merawat Keindonesiaan Model Nahdlatul Ulama

0
782
Bagikan Sekarang

Oleh: Sholehuddin*

Hari ini, tepatnya 31 Januari 2018, Nahdlatul Ulama (NU) berharlah ke-92 tahun. Hampir satu abad, NU menjadi organisasi keagamaan yang diperhitungkan, tidak saja di skala nasional, tapi juga di kancah internasional. Kebaradaan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, menjadi bukti kepercayaan umat yang tak terbantahkan. Begitu pula dengan hadirnya cabang istimewa di berbagai negara.

Kepercayaan itu tidak terlepas dari perannya di bidang diniyah (keagamaan) dan ijtimaiyah (sosial). Di bidang diniyah, NU terbukti dan teruji dalam mengembangkan ajaran para pendahulunya sebagai wadah keislaman dengan wajah tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), i’tidal (tegak lurus atau adil), dalam gerakan amar makruf nahi munkarnya. Jika pemimpin Afghanistan mengapresiasi dan mau belajar kepada Indonesia bagaimana merawat kehidupan masyarakat yang multikultur, multi etnis, dan multi agama, ini tidak lepas dari peran NU di dalamnya dengan konsep Islam Nusantara sebagai penerjemahan atas Islam rahmatan lil’alamin.

Dengan konsep Islam Nusantara, NU bisa menghadirkan sajian ajaran Islam yang penuh kedamaian, jauh dari dentuman peluru seperti yang terjadi di beberapa negara muslim di Timur Tengah dan Afghanistan sendiri. Kehadiran Islam di Indonesia dengan konsep ini, tidak membuang tradisi dan budaya, namun tetap dipelihara sebagai local wisdom yang akan dan terus menjadi perekat kehidupan dengan nilai-nilai agamanya.

Tanpa harus ‘memaksakan’ formalisasi agama, nilai-nilai agama bisa dirasakan sejuk oleh umat Islam yang menjadi warga mayoritas di negeri ini. Bisa dibayangkan, jika tidak ada ‘darusan’ dan khatmil Quran, istighatsah, tahlilan, pengajian, manaqiban, barzanji, maka negeri ini bisa dikalahkan oleh hiruk pikuk dan hingar bingar kehidupan metropolis yang penuh hura-hura dan kemaksiatan.

NU sejatinya telah menerapkan konsep yang digagas para kelompok pemikir Islam moderat seperti Yaser Audah, dkk. Ajaran agama yang berbasis teologi (keyakinan) dan ritual, bisa bersinggungan dengan unsur sosiologi, antropologi dan budaya setempat. Pola pengintegrasian unsur-unsur itu dalam pemahaman keagamaan, menghasilkan kekuatan tersendiri dalam merawat kebhinekaan. Kekuatan inilah yang disebut oleh seorang pengamat hubungan internasional sebagai kompetensi multikultural, yang menjadi modal penting dalam merawat kebhinekaan. Tak heran, jika kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan sebagai kunjungan balasan disambut hangat tidak saja oleh para petinggi negara itu, tapi juga masyarakat muslim setempat.

Itu semua tidak lepas dari kehadiran NU dan para kiai yang dengan istiqamah merawat keindonesiaan. Mendakwahkan Islam ala Indonesia, dan memelihara tradisi dan budaya keindonesiaan dengan nilai-nilai keislaman. Maka, tugas berat seluruh nahdliyin di jaman now (jaman jadid)) adalah memperkuat peran NU untuk Islam berkeindonesiaan, dan Indonesia berkeislaman. Selamat Harlah NU ke 92, 31 Januari 2018.

*Dr. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Ketua PC ISNU Sidoarjo, widyaiswara BDK Surabaya, anggota Penjaminan Mutu Madrasah PW NU LP Ma’arif Jatim, dan Dosen IAI Al Khoziny Sidoarjo.

Leave a reply