
Oleh: KH. M. Hasan Mutawakkil Alallah *)
Sabtu malam, 30 April kemarin, saya menghadiri peringatan Hari Lahir atau Harlah ke-93 NU di Taman Chandra Wikwatikta. Harlah yang diberi tajuk Apel Besar Harlah ini terasa spesial. Bukan hanya soal menu acara yang ditampilkan, tetapi juga soal tema dan pesan yang diusung: tentang perlunya persatuan antar elemen bangsa, khususnya dalam mengawal NKRI dan Pancasila. Acara kian bermakna karena Putri Sang Proklamator, Ibu Megawati Soekarno Putri dan Ketua Umum PBNU hadir memberi orasi.
Inilah sepertinya, sebuah perhelatan yang dimaksudkan dan dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita, termasuk di dalamnya Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary dan Bung Karno. Sebuah visi besar untuk menjadikan Indonesia dan Nusantara ini sebagai rumah kehidupan di dunia yang fana ini. Indonesia sebagai negara bangsa, yang merajut perbedaan menjadi kekuatan, menjalin keragaman dalam sebuah tali persaudaraan dan persatuan. Indonesia milik bersama. Indonesia adalah zamrud khatulistiwa, anugerah Tuhan Maha Kuasa. Kita menghirup udara Indonesia, terikat dalam alirah merah darah menyebar ke sekujur raga. Kita meminum Air Indonesia, menyantap putih nasi dari hamparan sawah berselimut permadani padi, menghijau, menguning bagai pelangi cakrawala. Dan akhirnya, kita pun akan menghadap Sang Kuasa di Bumi Indonesia yang penuh senyum ramah gempita.
Alangkah bahagia, kala para pendiri bangsa mengamati kita yang walau berbeda, tapi tetap satu jua. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan, tapi sudah menjadi kebiasaan. Khususnya di Jawa Timur. Toleransi sudah menjadi makanan sehari-hari. Kenapa Jawa Timur bisa punya anugerah ini? Ternyata Rahasianya ada di Madura. Sebab Kata Orang Madura, Bhinneka Tunggal Ika berasal dar kata mereka: Neka Bhik Neka, Tonggellah Neka. Kira-kira artinya begini: Kelompok satu, dengan kelompok lainnya, adalah sama.
Tentu, secara filosofis, bersatu-padunya Bangsa Indonesia hingga hari ini, tak bisa dilepaskan dari kecerdasan para pendiri bangsa untuk menyusun pandangan hidup bersama bernama Pancasila, yang mendasari berdirinya Negar Bangsa (Religion State) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tokoh Bung Karno menjadi figur utama sebagai penggali nilai dan sila dalam Pancasila. Sementara Tokoh Ulama seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari memerankan posisi penting sebagai pengarah dan inspirasi untuk mendefinisikan relasi agama dengan negara. Ini penting, mengingat nusantara tercinta adalah negeri muslim terbesar di dunia, maka bagaimana agama bersikap tentang pendirian sebuah negara menjadi hal paling penting diselesaikan terlebih dahulu. Inilah peran penting ulama yang jarang kita ketahui bersama. Nasionalisme dan Islam sudah selesai di Indonesia, dan titik temunya adalah di Pancasila. Maka Pancasila menjadi warisan paling berharga di negri kita tercinta. Wajib hukumnya bagi kita untuk untuk terus mengawal, memahami, melaksanakan serta menyebarkan, khususnya kepada kalangan generasi muda. Karena merekalah yang kelak akan memimpin bangsa Ini melanjutkan tongkat estafet mewujudkan Indonesia yang Adil dan makmur berdasarkan Pancasila sesuai cita-cita para pendiri bangsa.
Malam minggu itu, saya sungguh bergembira, bersama para pemuda, penerus dan pengawal Pancasila. Para Pemuda yang tidak sekali-kali melupakan sejarah. Para pemuda pelanjut dan pengikut Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary, para pemuda Ansor, para pelanjut perjuangan ulama NU termasuk Kyai Wahid Hasyim dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang berteriak lantang, bahwa Hubbul Wathan Minal Iman, Pancasila adalah ideologi bangsa dan NKRI sudah Final. Saya juga sangat berbahagia, malam ini bersama para pemuda pelanjut Perjuangan Bung Karno yang dengan gagah berani memastikan warisan Bung Karno berupa Pancasila tetap kokoh menancap di bumi nusantara, meneriakkan dan melanjutkan Tri Sakti Perjuangan Bung Karno: mandiri secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan. Perjuangan ini sangat relevan digaungkan kembali di era dimana liberalisme dan kapitalisme kian tak bisa dihindari. Termasuk liberalisasi ideologi yang tentu lebih berbahaya karena akan berpengaruh pada aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Akhirnya, pada para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, yakni para pengikut dan pelanjut Perjuangan Hadratus Syekh dan Bung Karno, saya menghimbau untuk bersama NU dan semua komponen bangsa, terus mengawal dan membentengi ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan negara. Hadapi siapapun yang akan merongrong warisan luhur itu. Jangan takut, jangan mudah diadu domba. Berjalanlah terus di bawah petunjuk dan bimbingan para ulama dan para pemimpin kita. Kalian memang masih pemuda di hari ini, tapi di masa depan, kalianlah pemimpin bangsa ini. Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan dan petunjuk-Nya dalam menjalankan misi dan niatan mulia ini. Amin.
*) Ketua PWNU Jawa Timur