Membangun Budi Pekerti Luhur

0
2222
Bagikan Sekarang

Kiai DzulhilmiOleh: KH. Ahmad Dzulhilmi Ghazali, Alhafidh *)

Kita bangga dengan syariat Islam yang telah kita miliki. Di mana syariat Islam menekankan untuk berbudi yang luhur (akhlaaqul kariimah). Namun sebagai umatnya, kadang kita tidak mampu melakukannya dengan baik, sehingga berakibat buruk dalam kehidupan bermasyarakat kita. Sebagaimana telah dikemukakan oleh tokoh penyair, As Syauqi : Wainnal umamul akhlaaqu maa baqiyat, wa in hum dzahabat akhlaaquhum dzahabuu (eksistensi masyarakat itu tergantung pada keberadaan budi pekerti, bila budi pekerti sudah hilang, maka hilang pula eksistensi masyarakat itu).

Budi pekerti menyangkut segala sikap dan perilaku yang mungkin akan kesulitan kalau diterapkan secara sempurna, namun setidaknya harus mempunyai skala prioritas yang mana didahulukan dan yang mana yang menyusul kemudian. Dengan cara mempelajari dari Al-Qur’an atau Al Hadits. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At Turmudzi.

Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulullah… kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi) Di dalam hadits ini Rasulullah SAW menerangkan bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak Anda semakin mulia niscaya kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau dibandingkan selain Anda. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi SAW pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin r.a.menerangkan bahwa makna tsartsarun adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majelis itu selain dia. Dia berbicara tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud majelis dalam konteks ini adalah pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majelis ilmu atau pengajian, sebab jika suatu saat Anda mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka lalu Anda sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa.

Makna mutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam, sebab kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab. Seandainya Anda mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan.

Adapun jika Anda sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka tidak selayaknya Anda berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing, artinya janganlah Anda menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan.

Sedangkan makna mutafaihiqun: Nabi SAW telah menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah-olah dia berjalan di atas helaian daun karena adanya kesombongan di dalam dirinya. Perilaku ini tak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela, wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Allah, seyogyanya dia merendahkan diri (tawadhu’). Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta, ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka.

Betapa mahalnya harga budi pekerti yang luhur itu. Hingga orang yang berakhlak mulia itu sangat dicintai Nabi pada hari kiamat kelak. Yang berarti ukuran kemuliaan seseorang, sangat ditentukan oleh baik atau buruknya budi pekertinya.

Sebaliknya, orang yang paling dibenci oleh Nabi dan kedudukannya jauh dari beliau di akhirat kelak, adalah mereka yang bermulut besar dengan penuh kesombongan. Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya berkata yang baik, atau kalau tidak bisa maka hendaknya diam”. Betapa pentingnya berkata yang baik, sehingga Rasulullah SAW menghubungkan dengan keimanan seseorang.

*) KH. Ahmad Dzulhilmi Ghazali, Alhafidh, adalah Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Timur, dan Imam Besar Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya

Leave a reply