Kian Berwibawa dengan Sarung

0
787
Bagikan Sekarang

Sarung kotak-kotak warna oranye dipadu kemeja lengan panjang warna putih yang dikenakan Presiden Jokowi begitu menyatu dengan cahaya matahari yang baru saja terbit. Serasi dengan sinar kuning kemerah-merahan sempurna yang terpantul dari air laut.

Pada awal tahun baru 2016 itu, Jokowi berfoto di Pantai Waiwo, Raja Ampat, Papua. Duduk bersila tanpa alas kaki dan bersarung, Jokowi tidak kehilangan aura kewibawaannya.

Bukan kali itu saja Jokowi muncul mengenakan sarung bermotif kotak-kotak. Dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, saat banyak kiai bersetelan jas, Jokowi mengejutkan peserta muktamirin karena tiba-tiba datang mengenakan sarung motif kotak-kotak berwarna merah dipadukan dengan setelan jas dan kopiah hitam.

Itu merupakan peristiwa langka karena presiden biasanya membuka acara resmi dengan mengenakan setelan jas. Kalaupun tidak dengan setelan, batik lengan panjang kadang menjadi alternatif.

Sebenarnya tidak aneh juga kenapa Jokowi memilih bersarung di acara muktamar NU. Maklum, organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia ini memang dikenal sebagai kaum sarungan. Sebagian besar anggota kelompok memakai sarung sebagai kebiasaan. Ormas ini jugalah yang dalam sejarahnya pernah menggunakan sarung sebagai gerakan politik identitas.

Sarung diperkirakan masuk Indonesia pada abad ke-14. Jenis pakaian ini dibawa oleh saudagar Arab dan Gujarat. Selain membawa misi penyebaran agama Islam, mereka kebetulan berdagang. Dan jenis pakaian sarung kabarnya berasal dari negeri Yaman. Di sana sarung disebut sebagai futah.

Selain itu, ada hipotesis dari seorang sarjana muslim Malaysia, Fatimi, yang kemudian dikutip oleh Gus Dur. Dalam salah satu kumpulan esainya yang berjudul “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” disebutkan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara, termasuk Jawa, diwarnai penggunaan sarung oleh umat Islam di Jawa.
Selain karena kesamaan mazhab yang dianut muslim India dan Indonesia, sarung dipakai di kawasan Bengali Barat. Di sana sarung disebut lungi dan menjadi pakaian utama sehari-hari.

Desainer Jenahara Nasution menilai sarung sebetulnya adalah sebuah konsep. Sama seperti kain ihram yang digunakan untuk berhaji. Sarung, menurut dia, adalah konsep kain yang dibebet, dilipat, kemudian dipakai di pinggang. Karena mudah, simpel, dan nyaman dipakai, sarung banyak dikenakan masyarakat Indonesia semenjak dulu.

Karena Indonesia terdiri atas banyak suku dan budaya, sarung pun memiliki beragam motif. Setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Di Nusa Tenggara Timur, sarung ditenun dengan motif Rote, di Bali biasanya disebut motif Rangrang, sedangkan untuk Pulau Jawa sarung biasanya bermotif batik.

Belakangan, sarung memang identik dengan motif kotak-kotak, apalagi ketika industri tenun mulai berkembang dan menggabungkan aneka corak. Di balik corak kotak, sebenarnya ada makna filosofi yang tidak diketahui banyak orang.
“Sarung di kita (Indonesia) identik dengan corak kotak-kotak karena memiliki filosofi bahwa ke mana pun manusia melangkah, entah ke kanan, kiri, samping, atau belakang, selalu memiliki konsekuensi,” ujar Jenahara.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdul Mun’im D.Z. menjelaskan, beskap, yang sering dipakai kalangan Jawa, juga masuk dalam jenis sarung. Namun beskap biasanya bercorak batik dan kadang dipakai oleh elite Jawa. Sedangkan sarung dipakai oleh kalangan umum karena efisien dan murah.
“Surjan yang dipakai orang kan termasuk sarung, beskap itu juga kategori sarung, cuma untuk kalangan elite dengan bahan batik mahal,” ujar Mun’im kepada detikX.

Sarjana kenamaan Belanda yang mempelajari Islam Indonesia pada awal ke-19, Snouck Hurgronje, pernah membuktikan bagaimana sarung dikenakan sebagai pakaian jemaah haji asal Indonesia bermotif kotak-kotak itu. Ia berkesempatan mengabadikan haji asal Indonesia sewaktu berada di Mekah.

Hurgronje memfoto kelompok jemaah haji di konsulat Belanda di Jeddah pada 1884. Dari dokumentasi tersebut, terlihat beberapa lelaki asal Mandailing, Sumatera, mengenakan sarung kotak-kotak dengan kombinasi jubah. Juga pada jemaah dari Ambon, Kepulauan Kai, Banda, dan Kepulauan Maluku. Beberapa orang bersarung dan bersorban.

Penggunaan sarung pada momen-momen penting pun pernah dilakukan oleh tokoh nasional kemerdekaan. Salah satunya adalah KH Wahab Chasbullah. Menurut Agus Sunyoto, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama, salah satu pendiri dan Rois Aam pertama Nahdlatul Ulama itu adalah tokoh yang selalu memakai sarung dalam segala kesempatan. Sewaktu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung bersama Ki Hajar Dewantoro, Kiai Wabab selalu bersarung bahkan ketika dipanggil ke Istana, parlemen, atau forum pertemuan kenegaraan.

Di generasi selanjutnya, ada KH Bisri Syansuri yang identik dengan sarung. Beliau adalah Rois Aam Nahdlatul Ulama setelah KH Wahab Chasbullah. Selain aktif sebagai ulama, ia aktif di kancah politik nasional. Namanya pernah tercatat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat mewakili Masyumi dan anggota Dewan Konstituante pada 1956-1971.

Ada satu peristiwa yang melibatkan KH Bisri dan menjadi momen monumental berkaitan dengan sarung. Saat berlangsungnya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1978, KH Bisri, yang waktu itu tergabung dalam Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, memimpin penolakan materi Rancangan Ketetapan MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Dengan berwibawa, KH Bisri memimpin seluruh anggota fraksinya keluar dari ruangan sidang. Dengan perlahan, ia melangkah di depan dan diikuti seluruh anggota fraksinya. Lelaki sepuh berumur 92 tahun itu pun keluar dengan penuh wibawa. Sebagian anggota sidang hanya melihat tertegun kepada lelaki sepuh bersarung tersebut.

Selain beberapa tokoh di atas, ada beberapa kiai yang sangat identik dengan sarung. Sebut saja misalnya KH Maimun Zubair, KH Sahal Mahfudz, dan mantan wakil presiden KH Hasyim Muzadi. Tokoh-tokoh ini adalah tokoh yang menjadikan sarung bernilai dan memancarkan kewibawaan. (dtk/saiful)

Leave a reply