SURABAYA — Ustad Abdul Somad belakangan bikin heboh atas pernyataannya, bahwa olahraga catur adalah haram. Alasannya, bisa melupakan kewajiban syariat Islam, seperti salat.
Bagi warga NU di Jawa Timur, banyak orang kemudian teringat kembali pada Kiai Imron Hamzah. Juga teringat Kiai Hasyim Muzadi. Keduanya, telah almarhum, sama-sama punya hobi main catur. (Semoga Allah merahmati dan mengampuni segala dosanya kedua almarhum).
Kiai Imron Hamzah itu punya hobi catur. Kalau ada jadwal mau ceramah, ketika menunggu waktu berangkat beliau main catur.
Meski begitu, Kiai Imron Hamzah justru yang paling disiplin dalam menegakkan salat. Ketika terdengar azan, Kiai Imron yang menggerakkan kader-kader NU di kantor PWNU Jalan Darmo Surabaya, untuk salat berjamaah.
Karena itu, demikian pula pandangan ulama dan kiai pesantren, olahraga catur tidak dihukumi haram. Tapi, justru menjadi ajang olahraga berpikir. Demikian seperti disampaikan KH Syafruddin Syarif, Katib Syuriah PWNU Jawa Timur.
Menurut Kiai Syafruddin, membenarkan, olahraga catur itu sama sekali tidak haram. Namun, apabila itu dikerjakan dengan tidak melupakan atau melalaikan ibadah seperti salat dan lain sebagainya.
“Maka catur kalau menurut saya itu boleh. Bahkan, baik catur itu. Karena melancarkan pemikiran orang. Jadi dia tidak hanya gambling, tapi mengasah keterampilan orang. Jadi, catur dia tidak termasuk permainan yang diharamkan,” kata Syafruddin, Sabtu 23 November 2019.
Tentang Kiai Imron Hamzah.
KH Rais Syuriyah PBNU Periode 1999-2004 berdasarkan Keputusan Muktamar Lirboyo. Selama dua periode memegang jabatan yang sama untuk tingkat wilayah di PWNU Jawa Timur, yaitu pada 1992-1997 dan 1997-2002.
Ketika itu Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim dipegang oleh KH A. Hasyim Muzadi yang kemudian menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Karena menjabat Rais Syuriyah, jabatan untuk periode kedua tidak tuntas diselesaikan. Pada 1989-1994 diamanatkan sebagai Sekjen PP Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI).
Kiai Imron Hamzah lahir Desa Ngelom, Sidoarjo, 17 Agustus 1938, sebagai anak kedelapan dari sebelas bersaudara. Ayahnya adalah Kiai Chamzah Ismail. Sedangkan ibunya bernama Nyai Muchsinah. Konon, ia masih keturunan Mas Karebet atau Joko Tingkir.
Latar belakang pendidikannya dimulai ketika ia dikirim ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, bersama kakak tertuanya, KH M. Rifa’i. Saat itu, Imron baru berusia sembilan tahun. Kemudian ia belajar ke Pesantren Buntet, Cirebon, selama tiga tahun.
Selanjutnya, ia belajar di Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, hingga 1954. Ia juga berguru ke Mbah Maksum di Pesantren al-Hidayah, Lasem, Rembang. Setelah itu, ia berpindah-pindah, seperti ke Salatiga (Jawa Tengah) dan Krapyak (Yogyakarta).
Saat menjadi santri, Imron aktif berorganisasi, khususnya di lingkungan NU. Pada 1952, ia menjadi anggota pleno GP Ansor Cabang Jombang. Dua tahun berikutnya menjadi pengurus IPNU Cabang Jombang.
Lima tahun setelah itu, dipercaya sebagai pengurus NU Cabang Lasem, lalu menjadi Ketua NU Lasem Periode 1962-1965. Pada 1967 ia pulang ke Ngelom. Kemudian ia menjadi pengurus Bagian Penerangan Pertanu Wilayah Jawa Timur. Di tahun yang sama ia menjadi Ketua Departemen Penerangan GP Ansor Jawa Timur.
Selanjutnya, pada 1967-1982, menjadi Katib Syuriyah NU Jawa Timur ketika K.H. Machrus Ali menjadi Rais Syuriyahnya. Dalam karier politik, Kiai Imron pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur (1971-1982).
Ia juga menjabat Wakil Ketua PPP Wilayah Jawa Timur (1973-1986) mendampingi Ketua KH M. Hasyim Latif; Wakil Ketua DPRD Tingkat I Jatim (1982-1987); dan dua kali menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah Jawa Timur (1987-1992 dan 1992-1997). Salah satu peran penting Kiai Imron di bidang pengembangan fiqih adalah usahanya merintis kegiatan pengkajian khazanah keislaman salaf melalui berbagai kegiatan halaqah.
Upaya itu dilakukannya bersama KH Wahid Zaini, KH Masdar F. Mas’udi, dan sejumlah kiai muda lainnya melalui Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Salah satu hasil upaya itu adalah lahirnya rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan Musyawarah Nasional NU di Lampung pada 1992.
K.H. Imron Hamzah tutup usia pada 23 Mei 2000 di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. (Red)