
Surabaya – Meskipun tercatat sebagai dokter spesialis Forensik RSUD Dr Soetomo, Dr Edi Suyanto SpF SH MH masih tetap aktif di kepengurusan NU dan mengabdikan diri di masyarakat. Sejak belia telah aktif di organisasi kepemudaan hingga menjadi Wakil Ketua PWNU Jatim Koordinator Bidang Kesehatan Masyarakat.
“Kakek dan bapak saya tentara NU, tetapi mereka tidak mengharuskan keluarganya bergabung di NU juga. Ada keluarga saya yang juga orang Muhammadiyah, tetapi kami tetap saling menghargai,” terangnya, Kamis (23 Juni 2016).
Bagi keluarga besarnya yang terpenting adalah hubungan kemanusiaan yang baik. Selama masih memegang akidah dan syariat Islam, maka tidak masalah aliran apapun yang diikuti.
“Ikut organisasi itu pengabdian pada masyarakat, untuk memahami konsep-konsep kehidupan rahmatan lil alamin,” lanjutnya. Organisasi juga telah membuatnya mempunyai jiwa kepemimpinan, sehingga tahu etika dan tata krama. Kepemimpinan yang ia maksud yaitu yang disegani teman dan rekan, tidak ditakuti. Jadi bisa memposisikan diri bermanfaat.
Pengabdian pada masyarakat juga ia wujudkan dengan menggagas klinik umum di lingkungan tempat tinggalnya. Klinik umum ini ditujukan untuk masyarakat di dalam lingkungan ataupun dari luar. “Sudah lama itu kliniknya, lokasinya di bawah lingkup masjid. Jadi manajemennya juga dari masjid,” terangnya.
Tak hanya untuk muslim, menurutnya semua warga dari beragam agama juga akan dilayani. Iapun menyalurkan dokter muda yang juga muridnya untuk bekerja di klinik pada Senin, Rabu dan Jumat. “Semua perawat dan dokter juga digaji dari donatur. Pasien hanya perlu membayar dengan infaq seikhlasnya,” lanjutnya.
Beragam kasus terkait malpraktek sering menjerat profesi dokter. Hal ini membuat Edi yang juga sebagai Ketua Badan Hukum Pembinaan dan Pembelaan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jatim sering melihat kasus pelanggaran hukum yang dilakukan dokter.
Pengalaman mengecewakan ia alami ketika harus menjadi ahli hukum bagi dokter dan anestesi di Rumah Sakit Gresik.
“Saat itu dokter dan anestesinya melakukan pembedahan dan mengakibatkan pasien meninggal. Padahal syarat administrasi dokter dan anestesinya belum lengkap,” kenangnya pada kejadian 2 tahun lalu itu.
Kejadian ini akhirnya menjadi perkara pidana, walaupun sebelumnya banyak kasus pasien yang sukses ditangani.
“Ahli hukum tidak serta merta membela dokter. Hak pasien harus dinomor satukan,”tuturnya.
Menurutnya kebiasaan dokter dan rumah sakit untuk melanggar administrasi ini kerap dilakukan.
Hal ini membuatnya cukup kecewa, karena dengan demikian dokter telah mengabaikan kepentingan pasien. (STB/saiful)