Tasawuf Birokrasi: Pendekatan Baru dalam Kepengawasan di Kemenag

0
812
Bagikan Sekarang

Oleh: Sholehuddin

Dua kali saya menerima pembinaan dari Inspektur Jenderal Prof. Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan. Dua kali itu juga saya merasakan nuansa “ngaji” di pesantren, mengembalikan memori ketika ‘nyantri’ di Ngelom Sidoarjo, jauh dari suasana pembinaan pegawai. Pasalnya, alumni Tebuireng Jombang ini dalam pembinaanya selalu mengutip kitab yang memang dikaji di kalangan pesantren.

Pada sesi pertama di awal Januari lalu, ia mengutip kitab Hikam karya Ibnu Athaillah. Dikatakan bahwa hati manusia itu ibarat kaca cermin yang memantulkan apa yang ada di depannya. Jika baik rupa, maka di cermin juga akan tampak baik, dan sebaliknya. Itu artinya, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), widyaiswara yang bertugas mencerahkan peserta diklat, harus mencerahkan dirinya terlebih dahulu.

Pada sesi kedua (25/1), ahli filsafat itu mengutip mukaddimah kitab I’anatut Thalibin syarah Fathul Muin. Dalam Bahasa Arab yang fasih, ia menegaskan pentignya proses suluk. Menurutnya, diawali dari mencari ilmu untuk meningkatkan kompetensi. Kompetensi inilah yang akan membawa dan menjadi sarana datangnya rizki. Rizki yang diperoleh dari usaha manusia secara wajar, akan mendatangkan ketenangan sekaligus mata batin. Maka, pada puncaknya seorang salik akan mencapai makrifat atau al-wushul ilallah.

Sebagai upaya untuk membuka pintu makrifat tadi, setiap ASN harus bekerja dengan niat ibadah. Hal ini berimplikasi pada, pertama akan memupuk suluk, perjalanan menuju (ridha) Allah. Kedua, akan menjadi benteng diri dari segala penyimpangan. Dalam pendekatan thariqah, menurutnya ada yang bisa diimplementasikan dalam dunia birokrasi. Pertama, dalam sebuah manaqib ulama tasawuf, diperlukan pemahaman prinsip dasar sang guru. Artinya, seorang birokrat atau ASN harus memahami tugas dan fungsinya.

Kedua, pahami amalan, dzikir atau wirid sang guru. Artinya, seorang ASN harus mewujudkan tusinya dalam program dan kegiatannya. Ketiga, pahami silsilahnya. Seorang murid, penting melihat silsilah keilmuan sang guru. Ini sebagai bentuk legitimasi hubungan antara murid dan guru. Maka, dalam dunia birokrasi, ASN harus memahami regulasi yang menjadi payung hukumnya, agar dalam melaksanakan tusinya, tidak keluar dari aturan yang ada.

Jika dikaji secara ilmiah, apa yang dilakukan oleh mantan Direktur Pendidikan Madrasah itu mengarah pada pendekatan tasawuf. Atau lebih tepatnya tasawuf birokrasi. Tasawuf adalah segala upaya dalam rangka menemukan kebenaran berdasarkan wahyu. Prinsip utamanya tidak lain sebagai pengejawantahan “amanu wa’amilus shalihat”. Iman dan amal salih adalah dua prinsip keagamaan seorang hamba Allah yang sekaligus khalifatullah. Sementara birokrasi diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dalam bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada di tingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. (http://.wikipedia.org).

Kalangan Weberian mengartikan birokrasi sebagai fungsi biro. Ini merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Birokrasi merupakan sarana untuk mencapai tujuan (www.dictio.id). Tujuan organisasi Kementerian Agama sebagaimana disebutkan dalam Rencana Stratejik (Renstra), merupakan penjabaran dari visi dan misi Kementerian Agama. Lima kelompok yang dipetakan oleh inspektorat, tidak lain penjabaran dari tugas dan fungsi Kementerian Agama. Tusi inilah yang diistilahkan oleh Nur Kholis sebagai prinsip dasar guru thariqah. Setelah dipahami tusinya, masing-masing satuan kerja harus menuangkan dalam bantuk program dan kegiatan. Jika balai diklat keagamaan berfungsi mendiklat, maka diklatnya diibaratkan wirid dan amalan seorang ‘salik’ widyaiswara dan tenaga kediklatan lainnya. Begitu pula di madrasah, wiridnya adalah pembelajaran, dan seterusnya. Tentu dalam menjalankan program dan kegiatannya, ada aturan baik dalam bentuk peraturan maupun keputusan menteri, baik atasan maupun turunannya. Inilah yang disebut silsilah dalam dunia thariqah sebagaimana dikutip jebolan salah satu universitas di Belanda itu.

Di tengah dunia birokrasi dan politik yang kelam, jauh dari nilai-nilai spiritual, seperti banyaknya kasus korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan, di sini menjadi penting hadirnya agama dalam mengelola pemerintahan atau birokrasi. Gagasan “ritual berbasis merit” sebagaimana ditulis Hilmy yang menghadirkan agama dalam tata kelola kehidupan harus terus didengungkan agar tetap memiliki relevansi dengan konteks kekinian. Menurutnya, ritual harus fungsional bagi perbaikan moralitas privat-soliter maupun publik. Ritual agama maupun ritual kegiatan organisasi harus diorientasikan untuk kebajikan manusia dan alam semesta (Hilmy, 2016: 135).

Inilah esensi pendekatan tasawuf birokrasi yang dilakukan oleh seorang Nur Kholis dalam mengawal dan menjaga marwah Kementerian Agama di Inspektorat Jenderal, yang belum lama dipikulnya. Melalui nilai-nilai agama, ia mengajak kepada seluruh ASN membangun Kementerian Agama, bukan sekadar formalisasi beragama. Tentu ini bukan tugas ringan. Perlu dukungan penuh dari semua pihak, terutama yang selama ini masih ‘nyinyir’ dengan kaum santri. Selamat bertugas kiai.

*Dr. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara pada Balai Diklat Keagamaan Surabaya, Ketua PC ISNU Sidoarjo, dan dosen IAI Al Khoziny Sidoarjo.

Leave a reply