Mengurai Budaya Korupsi

0
646
Bagikan Sekarang

Sengkarut korupsi di negeri ini sudah demikian parah dan menggurita. Bahkan untuk mengurainya saja butuh perjalanan panjang, dan bisa jadi tidak akan ditemukan solusi, apalagi untuk jangka pendek. Setiap hari kita disuguhkan berita terungkapnya kasus korupsi di berbagai lapisan. Dari yang skala ringan, hingga angkanya yang membelalakkan mata. Mulai mereka yang hanya menjabat sebagai pegawai rendahan, hingga kalangan dengan bayaran tinggi bahkan penegak hukum sekalipun.
Kasus di Pamekasan adalah “hanya” contoh bahwa kejadian serupa akan segera terungkap. Tentu dengan modus dan cara berbeda. Tinggal mana yang lebih lihai, sang koruptor atau penegak hukum.

Ada pandangan menarik yang disampaikan pengacara dan praktisi hukum, Dr Anwar Rahman. Menurutnya, kasus jaksa yang ditangkap KPK di Pamekasan sungguh memprihatinkan. Ada koruptor ditangkap jaksa, lalu koruptor tersebut diperas oleh jaksa yang menangkap.

Sukurlah karena jaksa yang memeras koruptor ditangkap KPK. Akan tetapi jangan bahagia dulu lantaran lembaga KPK yang menangkap para pencuri uang rakyat tersebut dalam waktu dekat akan dibubarkan oleh DPR.

Kita tahu, bagaimana cara wakil rakyat duduk di Senayan? Supaya dapat terpilih menjadi wakil rakyat yang terhormat, mereka ternyata dipalaki masyarakat. Masyarakat minta uang di depan lantaran khawatir kalau sudah jadi anggota DPR tidak mau lagi memberikan duit, apalagi memikirkan aspirasi. Dan demikian seterusnya.

Kalau berani jujur, antara lain yang melakukan korupsi dan praktik memberikan dan menerima suap adalah kita, masyarakat. Ya, begitulah peliknya masalah bangsa ini, siapapun penyelenggara atau pemimpin bangsa ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan cepat. Perlu waktu yang cukup untuk mengubah mental bangsa kita.

Bagaimana bisa menjadi wakil rakyat, presiden, gubernur, bupati, wali kota hingga kepala desa? Ternyata semuanya butuh uang. Dari mulai proses sosialisasi, kampanye dan tahapan pemilihan berikutnya membutuhkan dana yang tidak ringan. Yang “sederhana” misalnya, untuk bisa menjadi kepala desa ternyata harus mengeluarkan uang pembinaan yang demikian tinggi. Masyarakat juga enggan pergi ke Tempat Pemungutan Suara atau TPS bila tidak ada “amplop” yang diberikan calon kepala desa.

Hendak menjabat perangkat desa sekalipun juga demikian. Perlu dana pelican agar maksud hati kesampaian. Sehingga niat untuk berkhidmat tidak bisa dilakukan lantaran harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Karenanya, memberangus praktik koruptif harusnya dimulai dari diri sendiri. Tak perlu menyalahkan sana-sini, termasuk pemerintah dan aparat. Toh, kita saja belum mampu mengentaskan diri dari perilaku korupsi. Boleh saja melakukan kritik atas sejumlah praktik negatif yang dilakukan aparat sebagai bentuk rasa memiliki atas perbaikan negeri ini. Tapi ingatlah pesan yang disampaikan para guru agar segalanya harus dimulai dari diri; ibda’ binafsika.

Leave a reply