
Oleh: A. Halim Iskandar*
Dalam Muktamar XXX NU di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, pada 2000, muncul satu keputusan yang berisi imbauan kepada warga NU untuk menjadikan PKB sebagai satu-satunya parpol yang harus dipilih dalam pemilu. Hingga saat ini, keputusan itu belum berubah dan belum dicabut, sehingga konsensus para ulama tersebut masih mengikat secara moral kepada nahdliyin.
Dalam perspektif historis dan ideologis, keputusan tersebut sudah tepat, mengingat secara faktual sejarah PKB adalah sejarah NU. PKB satu-satunya partai yang pernah dilahirkan NU. Kelahiran PKB pada 23 Juli 1998 dibidani oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) melalui lima kiai khos, yakni KH Abdurrahman Wahid (ketua umum PB NU), KH Mustofa Bisri (Rembang), KH Ilyas Ruhyat (Tasikmalaya), KH Munasir Ali (Mojokerto), dan KH Muchith Muzadi (Jember).
Maka, tidak heran jika PKB memiliki banyak sekali kesamaan dengan induknya tersebut. Mulai pilihan asas, dasar akidah, garis ideologi, basis kultural, sampai pada pola struktur organisasi. Alhasil, tidaklah keliru pendapat yang mengatakan bahwa koridor perjuangan PKB identik dengan kredo perjuangan NU. Bedanya hanyalah pilihan domain arena perjuangan. NU merupakan ormas di ranah keagamaan dan sosial-kultural, sedangkan PKB adalah organisasi politik di wilayah politik pemerintahan.
Hubungan Anak-Ortu
Konstruksi historis itulah yang menjadi konsideran moral bagi PKB untuk selalu bersikap hormat terhadap para kiai. Karena kiai merupakan fondasi utama dari institusi (jam’iyah) NU. Bahkan, bagi PKB, kiai bukan hanya imam spiritual dan simbol kultural bagi umat, tetapi sosok orang tua yang harus dihormati dan ditaati.
Logika tersebut dapat dijelaskan dengan analogi ’’hak dan kewajiban’’ dalam hubungan orang tua dengan anak. Seorang anak, di mana pun dan sesukses apa pun dia, tetap berkewajiban hormat dan taat pada orang tuanya. Sebaliknya, bagi orang tua, ada hak yang melekat untuk “meminta sesuatu” apabila si anak tersebut sudah mandiri dan dewasa. Dalam alur berpikir semacam itu, PKB wajib hormat dan taat kepada kiai NU layaknya hormatnya anak kepada orang tuanya. Sementara NU (yang direpresentasikan sosok kiai) berhak untuk memarahi PKB jika dianggap nakal, memberi arahan pada PKB jika dianggap menyimpang, bahkan meminta darma bakti PKB sebagai anak.
Maka, sejak kali pertama PKB dilahirkan, demikianlah konstruksi hubungan PKB dan NU dibangun. Semenjak masih belia hingga dewasa (sekarang berusia 19 tahun), PKB selalu berupaya maksimal untuk berkhidmat dan memberi kontribusi optimal bagi NU dan nahdliyin. Sebab, corpus perjuangan PKB adalah perjuangan memberdayakan kaum mustadh’afin (kaum yang terpinggirkan) serta memberdayakan salah satu pilar penting bangsa ini, yakni pesantren.
Pesantren merupakan institusi sosial-keagamaan yang sudah lama eksis jauh sebelum republik ini berdiri. Pesantren bukan hanya kawah candradimuka bagi lahirnya kaum santri ahli agama, tetapi juga tempat lahirnya para pahlawan nasional. Pangeran Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Wahab Hasbullah, KH As’ad Syamsul Arifin, maupun Gus Dur adalah sedikit contoh kader-kader pesantren yang menjadi pejuang bangsa. Tetapi, hingga detik ini, pendidikan pesantren masih terdiskreditkan dari sistem pendidikan mainstream.
Itulah kenapa Fraksi PKB DPR RI mengusulkan RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren untuk dibahas dan disahkan menjadi UU. Tujuannya agar pola pengembangan madrasah dan pesantren memiliki basis legalitas, sehingga negara dapat hadir dalam pemberdayaan pesantren. Hal ini menjadi bukti bahwa PKB tidak akan pernah melupakan asal usulnya yang berinduk kepada kiai dan pesantren.
PKB dalam Pilgub Jatim
Menghadapi Pilgub Jatim 2018, paradigma PKB tidak bergeser sedikit pun dari apa yang sudah dijelaskan di atas. Maka, ketika muncul seruan dari para kiai sepuh NU Jatim melalui surat yang ditulis oleh 21 kiai kepada PKB Jatim agar seluruh elemen sosial-politik NU dapat bersatu menyambut pilgub, dengan tulus PKB mengapresiasi hal tersebut sebagai ikhtiar orang tua membimbing anaknya.
Bahkan, setelah sowan dan bersilaturahmi dengan simpul-simpul kiai sepuh di Jatim, PKB legawa dapat menerima aspirasi para kiai yang menginginkan PKB mencalonkan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai cagub Jatim. Dengan tegas, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan siap melaksanakan amanah para kiai sepuh untuk memperjuangkan Gus Ipul sebagai cagub, meskipun sebelumnya DPW PKB Jatim sudah mengusung Halim Iskandar sebagai bakal cagub.
Memang sempat muncul suara-suara ketidaksetujuan dari arus bawah PKB atas perubahan orientasi politik ini. Hal tersebut dapat saya pahami, karena kader sudah merasa menyatu dengan spirit perjuangan bersama, semangat holopis kuntul baris. Keyakinan kader juga mulai tumbuh akan terwujudnya cita-cita bersama yang sudah lama terpendam, yaitu mencalonkan dan memenangkan posisi gubernur dari kader PKB. Saya benar-benar dihadapkan pada dua pilihan sulit yang membutuhkan keteguhan sempurna. Di satu sisi, kewajiban saya menaati titah para kiai. Namun, di sisi yang lain, sebagai ketua DPW PKB Jatim, saya harus mendengar dan mengupayakan keinginan kader untuk mengusung cagub dari internal partai.
Di tengah dilema tersebut, saya teringat kaidah ushul fiqh, “assiyasatu mabniyatun ’ala ’aqidatiha” (politik dibangun atas dasar ideologi/akidahnya). Artinya, jika akidah yang diyakini kader PKB adalah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja an-nahdliyah) yang meniscayakan posisi kiai/ulama sebagai pewaris ajaran para nabi, sikap politik yang dibangun kader-kader PKB juga harus selaras dengan dawuhnya para kiai. Mengambil keputusan atas dasar dalil fiqh dan pertimbangan para kiai adalah keunikan PKB dibanding partai-partai lain, yakni mampu mendialogkan narasi demokrasi modern dengan kearifan Islam Nusantara dan teks-teks klasik kitab kuning.
Karena itu, fenomena penolakan beberapa kader atas keputusan ini saya yakini hanya respons keterkejutan semata. Seiring berjalannya waktu, saya yakin sebagai seorang santri, kader-kader PKB akan patuh pada dawuhnya para kiai dan menjunjung tinggi garis keputusan partai.
Selain itu, sebagai episentrum kekuatan sosial-politik NU di Indonesia, PKB Jatim dan segenap unsur NU lainnya memang harus solid dan bersatu untuk memperjuangkan suksesi kepemimpinan di Jawa Timur. Potensi kekuatan sosial-politik NU di Jatim tidak boleh terpecah belah lagi agar warga nahdliyin tidak terombang-ambing dalam ketidakpastian politik yang kontraproduktif dengan ikhtiar PKB untuk menyejahterahkan masyarakat Jawa Timur. Kohesi sosial politik di internal NU wajib dipertahankan agar NU dan PKB mampu menjadi solusi atas beragam tantangan yang dihadapi Jatim pada masa mendatang. (*)
*Ketua DPW PKB Jatim, Ketua DPRD Jatim