
Brussels – Menurut KH A Hasyim Muzadi, aksi radikalisme dan terorisme oleh kelompok agama tertentu tidak benar-benar muncul di Indonesia. Bahkan negeri ini menjadi korban sebagai akibat dari globalisasi.
“Begitu juga, hubungan antaragama di Indonesia terjalin secara harmonis, termasuk antarbudaya dan adat istiadat dalam kerangka bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tetapi satu),” ujar Kiai Hasyim dalam sambutannya pada Dialog Indonesia-Uni Eropa tentang Hak Asasi Manusia, beberapa waktu lalu di Brussels, Belgia.
Dalam informasi tertulis yang diterima, Jumat (1/7/2016), Kiai Hasyim menyatakan bahwa kekerasan, ekstremisme dan terorisme mulai muncul di Indonesia setelah tragedi gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, AS, pada 11 September 2001.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok dan Malang ini mengatakan proses reformasi di Indonesia yang didukung keterbukaan juga menyebabkan masuknya gerakan radikal dan ekstrimis.
“Oleh karena itu, Indonesia bukanlah bangsa yang radikal dan sarang teroris tetapi pada kenyataannya, juga sebagai korban dari radikalisme dan terorisme global,” ujar Kiai Hasyim. Dewan Penasehat Presiden RI ini mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa melarang ideologi radikal karena proses demokratisasi di Indonesia.
Menurut Kiai Hasyim, sebelum masuknya ideologi agama transnasionalisme yang membawa sistem politik negara asing, sebagian besar umat Islam di Indonesia menganut ideologi Islam moderat yang disebut “Ahli sunnah wal jamaah”. Ideologi ini terkonsolidasi dengan sistem negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kiai Hasyim mendesak Indonesia dan masyarakat internasional untuk merumuskan solusi umum untuk melawan kekerasan, radikalisme dan terorisme.
“Beberapa langkah yang dilakukan Indonesia untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan menjalankan gerakan antiradikalisme untuk meningkatkan kesadaran di setiap bagian dari masyarakat. Masalah yang paling rawan adalah kesalahpahaman dan penyalahgunaan agama. Agama ditujukan untuk kebaikan seluruh umat manusia, tetapi mereka telah berubah menjadi bencana kemanusiaan,” tegasnya.
Mantan Ketua PWNU Jatim ini juga menambahkan bahwa jika pendekatan ideologis dan hukum tidak bisa menghentikan gerakan radikal, maka tindakan untuk menekan terorisme harus diambil melalui pendekatan keamanan. (Kom/saiful)