Hapus Trauma Sejarah PKI dengan Shalawat Rekonsiliasi

0
799
Bagikan Sekarang

Surabaya — Hampir dapat dipastikan pada akhir bulan September, selalu ramai dibicarakan peritiwa pemberontakan 30 September.. Berbagai kalangan mengingatkan bahaya bangkitnya kembali komunisme, dan pada saat yang sama mengemukakan sebaliknya. Lantas apa yang bisa dilakukan warga NU?

Bagi Muhammad Al-Fayyadl, kalangan NU serta warga bangsa untuk segera melakukan rekonsiliasi horizontal. “Dengan demikian ketegangan yang pernah terjadi dapat segera diurai serta menemukan titik temu,” katanya, Ahad (1/10) dini hari.
Dan media yang dapat dijadikan sarana untuk rekonsiliasi tersebut adalah shalawat. “Karena shalawat adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari warga NU,” ungkap alumni magister di Universite Paris 8 pada jurusan Filsafat dan Kritik Kontemporer Kebudayaan tersebut.

Mencari solusi dengan shalawat rekonsiliasi baginya bisa menjadi salah satu jalan tengah. “Akan baik kalau ada bacaan atau amalan shalawat yang mengarah kepada rekonsiliasi,” terang alumnus Pondok Pesantren An-Nuqayah Guluk-guluk Sumenep ini.

Al-Fayyadl tidak menampik kalau peristiwa berdarah G30S PKI terus menjadi perdebatan. “Lantaran selama ini, peristiwa tersebut ditutup-tutupi,” katanya. Bagaimana mungkin kekuasaan Soeharto dengan Orde Barunya telah mendesain sedemikian rupa kejadian tersebut sehingga yang mengemuka hanya versi pemerintah.
“Sehingga kalau sebagian masyarakat mempersoalkan dan ujungnya menjadi pro dan kontra seperti selama ini, hal tersebut adalah hal yang wajar,” ungkapnya.

Bagi pria yang kini tinggal di Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo tersebut, kejadian ini memberikan banyak pelajaran kepada bangsa “Anak bangsa harus bisa memilih dan mempelajari fase hubungan antar golongan yang pada akhirnya untuk bersama mendiskusikan perjalanan yang terjadi,” katanya. Mereka yang terlibat dalam sebuah peristiwa masa lalu, dapat bertemu untuk mendiskusikan peristiwa yang pernah terjadi secara lebih terbuka, lanjutnya.

Di ujung penjelasannya, Al-Fayyadl mengajak kalangan terpelajar di NU untuk banyak menulis buku sejarah. Ini untuk melengkapi buku dan catatan yang sudah ada. “Yang diwariskan jangan semata sejarah lisan,” sergahnya.
Manfaat dari menulis buku adalah agar semakin banyak sudut pandang yang bisa dijadikan rujukan dalam menilai sebuah peristiwa. “Dengan demikian akan semakin banyak misteri yang bisa diungkap,” pungkasnya. (s@if)

Leave a reply