
JOMBANG– Menurut KH Musthofa Bisri atau Gus Mus, kiai dan pesantren memberikan banyak teladan sekaligus nilai yang sangat bermakna. Dalam kondisi bangsa yang semakin carut-marut ini, dibutuhkan sosok kiai dan tempaan khas pesantren.
Bagi Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini, nilai utama yang dimiliki pesantren adalah kesederhanaan. Dengan kelebihan yang ini, para kiai dan santri tidak merasa membutuhkan sesuatu lantaran merasa cukup dengan yang dimiliki.
Penjelasan ini disampaikan Gus Mus pada acara bedah buku Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, yang diselenggarakan panitia 1 Abad Madrasah dan 191 Tahun Pondok Pesantren Bahrul Ulum tambakberas Jombang.
“Nilai dari pesantren dulu yang mengalami pergeseran adalah kesederhanaan,” kata Gus Mus, Selasa (26 April 2016).
Bagi Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini, kesederhanaan para kiai yang akhirnya membuat mereka kaya dari dalam. “Karena kiai kaya, maka tidak butuh apa-apa,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gus Mus mengemukakan sekalipun manusia memiliki 10 mobil, demikian juga rumah dalam jumlah banyak, tapi ketika masih merasa butuh, maka yang bersangkutan akan merasa kurang.
“Carut -marut kondidi bangsa ini lantaran para pemimpin hingga rakyatnya hidup secara berlebihan,” ungkap Gus Mus. Dan pesantren pada jaman dulu lewat keteladanan kiainya telah mengajarkan kesederhanaan sehingga merasa cukup dengan apa yang dimiliki, lanjutnya.
Hal kedua yang berbeda dari pesantren adalah pertangggungjawaban ilmiah. “Ilmu yang diperoleh para santri dari kianya dapat dipertanggungjawabkan hingga yaumul kiamah,” kata kiai yang mengenakan pakaian serba putih tersebut.
Kondisi ini sangat berbeda dengan pola pencari ilmu jaman akhir yang menyukupkan transformasi pengetahuan lewat media pembelajaran secara instant. “Satu hadits yang dipelajari para santri, dapat dipertanggungjawabkan sanadnya hingga generasi sahabat,” jelas Gus Mus.
Dan yang ketiga dari pesantren adalah ruhud dakwah, dalam artian menyikapi sekeliling sebagai sarana dakwah. “Dengan demikian, para kiai dan santri tidak mudah mengumbar dalil ketika melihat penyimpangan di masyarakat,” katanya. Yang dilakukan justru semangat mengajak atau berdakwah sebagaimana dilakukan baginda Nabi Muhammad SAW, lanjutnya.
Sebagai ilustrasi, ketika ada tawaran dari Malaikat Jibril untuk menghancurkan kalangan penentang dakwah, hal tersebut justru ditolak baginda Nabi Muhammad. Hal yang sama juga dilakukan Wali Songo dengan lebih melakukan pendekatan kepada masyarakat Jawa kala itu, tentunya dengan semangat dakwah.
“Tapi pekerjaan Wali Songo telah kita habisi dengan tidak lagi mengundang, malah menendang, bukannya merangkul tapi memukul” kata Gus Mus. Hal ini terjadi karena semangat dakwah dari umat Islam kian hilang dan berganti dengan kegarangan. “Akibatnya, umat Islam yang awalnya 90 persen, kita hanya menyisakan 70 persen saja,” keluh dia.
Gus Mus tampil bersama KH Husein Muhammad dan penulis buku, Ahmad Hilmi. Kegiatan dilangsungkan di aula pesantren setempat. (saiful)