SURABAYA – “Deklarasi Nahdlatul Ulama” yang dicetuskan pada International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, merupakan Perjuangan Hijaz Kedua. Hal itu diungkapkan Pemimpin Umum Aula Media Nahdlatul Ulama, H Arif Afandi, Rabu (11/05/2016).
Sejumlah poin penting dalam Deklarasi tersebut, di antaranya, Nahdlatul Ulama (NU) menawarkan wawasan dan pengalaman Islam Nusantara kepada dunia sebagai paradigma Islam yang layak diteladani, bahwa agama menyumbang kepada peradaban dengan menghargai budaya yang telah ada serta mengedepankan harmoni dan perdamaian.
Nahdlatul Ulama tidak bermaksud untuk mengekspor Islam Nusantara ke kawasan lain di dunia, tapi sekadar mengajak komunitas-komunitas Muslim lainnya untuk mengingat kembali keindahan dan kedinamisan yang terbit dari pertemuan sejarah antara semangat dan ajaran-ajaran Islam dengan realitas budaya-budaya lokal di seantero dunia, yang telah melahirkan beragam peradaban-peradaban besar, sebagaimana di Nusantara.
Islam Nusantara bukanlah agama atau madzhab baru melainkan sekadar pengejawantahan Islam yang secara alami berkembang di tengah budaya Nusantara dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam sebagaimana dipahami, diajarkan dan diamalkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia.
Arif Afandi, yang wartawan senior ini mengingatkan akan keberadaan generasi sekarang. “Warisan pemikiran politik pendiri NU KH Hasyim As’ari adalah manyatunya paham keagamaan dan kebangsaan. Dari beliau lahir adagium hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari iman). Ini yang memberi spirit umat Islam untuk selalu memperjuangkan negara bangsa sejak zaman penjajahan hingga sekarang. Lalu apa sumbangsih kita dan kalian sekarang?,” tutur Arif Afandi, yang Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Jawa Timur ini.
Seperti diketahui, pada 1924-1925, Arab Saudi dipimpin Ibnu Saud, Raja Najed, beraliran Wahabi. Aliran ini sangat dominan di Tanah Haram, sehingga aliran lain tidak diberi ruang dan gerak untuk mengerjakan mazhabnya. Aliran Wahabi terkenal puritan, berupaya menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah namun secara membabibuta dan melalui kekerasan. Maka beberapa tempat bersejarah, seperti rumah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, termasuk makam Nabi Muhammad pun hendak dibongkar. Umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.
Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin KH Abdul Wahab Hasbullah, bersama Syaikh Ghanaim Al-Misri. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan. Di antaranya, meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut. Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud. (red)