

Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Koordinator Divkominfo Mata Garuda (komunitas alumni/awardee beasiswa LPDP) Jawa Timur
Banyak ulama berpendapat, bahwa Al Qur’an sudah merangkum kalam-kalam suci Allahu ta ‘ala sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Isa. Baik yang berbentuk mushaf-mushaf yang berisi perintah dan larangan dari Tuhan Yang Maha Suci, maupun yang disebut sebagai kitab para nabi seperti Taurat, Zabur, dan Injil.
Bila ditarik lebih jauh, para ahli agama itu juga berpendapat, bahwa ada sebuah surat yang secara umum merangkum keseluruhan dari Al-Qur’an. Yakni, surat Al-Fatihah, yang di dalamnya terkandung pujian-pujian pada Sang Pencipta (ayat 1 sampai 4), pernyataan penyerahan diri hamba pada Tuhannya (ayat 5), dan doa-doa yang paling utama (ayat 6 dan 7).
Salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah yang memiliki makna mendalam dan memunyai kekuatan besar adalah Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin (Segala puji hanya milik Allah Tuhan yang Menguasai seluruh alam raya). Imam Jalaluddin Al Mahalli dalam tafsir Jalalain menerangkan, kalimat ini merupakan kalam berita atau bersifat informatif. Guna memberitahukan manusia bahwa Allahu ta ‘ala memiliki kekuasaan mutlak pada seluruh alam.
Baik itu alam manusia, alam jin, alam hewani, alam tumbuh-tumbuhan, alam fana, alam baqa, dan alam apapun jua. Allahu ta ‘ala adalah Raja segala dimensi sehingga Dia berhak untuk melakukan yang Dia inginkan. Dalam perspektif ini, manusia diarahkan untuk mendekat padanya, agar segala urusan di dunia dan di akhirat kelak, dilancarkan oleh Sang Maha Pemelihara tersebut.
HAMKA dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan, kalam ini memiliki substansi ketauhidan yang komprehensif. Pada pangkalnya, Alhamdulillahi, terdapat ikrar tauhid uluhiyah, bahwa segala peribadatan adalah untuk Illahi. Berdoa, memohon apapun jua, meyakini apa saja, menyerahkan jiwa dan raga, hanya pada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada ujungnya, rabbil ‘alamin, terdapat kesaksian tauhid rububiyah, bahwa segala kepengurusan atau kepenguasaan alam semesta dan segenap dimensinya, mulai yang paling remeh temeh hingga yang beraksara tak terhingga, ada dalam kuasa Allahu ta ‘ala. Dalil mengenai ini, salah satunya termaktub dalam ujung surat Al-Araf ayat 54 yang maknanya kira-kira begini: Ingatlah, menciptakan itu adalah hak Allahu ta ‘ala, dan memerintah juga hak-Nya, Maha Suci dan Maha Besar Allah Tuhan yang memelihara alam semesta.
Tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah memiliki korelasi yang rekat. Bila seseorang bertauhid secara rububiyah, bahwa bersaksi kalau Allahu ta ala satu-satunya pengatur alam semesta, otomatis pula hanya kepada-Nya tempat berdoa dan menyembah. Sejalur dengan itu pula, bila seseorang yakin bahwa hanya satu Tuhan tempat meminta dan berserah diri, berarti dia memercayai juga kalau Tuhan itu yang mengatur seru sekalian jagat.
Saat ada seseorang yang tidak yakin pada satu di antara keduanya, atau malah kedua-duanya, lantas berpikir bahwa ada kekuatan lain di muka bumi ini, apapun bentuk dan dalihnya, tarjatuhlah dia pada kesyirikan. Sebab dalam ketauhidan, kedudukan Allahu ta ‘ala mutlak berdiri sendiri.
Bagi seorang hamba, meyakini bahwa kedudukan-Nya mutlak berdiri sendiri dan tanpa bersekutu dengan apapun jua, adalah bentuk dari tauhid asma’ wa shifat. Itulah wujud pengesaan Allahu ta ‘ala dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya sendiri.
Ketauhidan adalah akidah pokok dalam Islam sekaligus pondasi utama dalam beragama. Tak ayal, kalimat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin ini memiliki makna yang luas dan mengakar. Khususnya, seperti yang disampaikan Sayyid Quthub dalam Fi Zhilalil-Quran, ketika masa Nabi Muhammad yang kondisi masyarakatnya sedang gelap gulita karena terpapar berbagai tahayul, mitos, legenda, dan filsafat-filsafat sesat lagi menyesatkan.
Penegasan pesan ketauhidan yang didalamnya ada semangat penyerahan diri seorang hamba, menjadi kunci masuk untuk mencapai keyakinan yang benar dalam berislam. Pengesaan Allahu ta ‘ala adalah langkah paling awal, layaknya tergambar
Pada era modern, perspektif bahwa ada kekuatan selain Tuhan terhadap objek-objek tertentu bisa diperluas ragamnya. Bila dulu yang dijadikan jujukan adalah mitos, legenda, falsafah mentah, dan tahayul, di zaman sekarang, menjadikan public figure (artis), uang, harta, atasan, istri/suami, bahkan anak, sebagai hal yang patut untuk diberi pengorbanan paling tinggi atau diberi rasa cinta paling dalam, dapat menggelincirkan diri pada kesyirikan atau penyekutuan Tuhan. Karena di dalam hati manusia, seharusnya, Tuhan memiliki kedudukan nan paling tinggi.
Perasaan takut tidak hidup karena tidak punya pekerjaan, tidak punya uang, tidak punya orang tua, atau tidak punya hal-hal lain semestinya dikesampingkan. Karena hakikatnya, seorang beriman memiliki Tuhan Seru Sekalian Alam yang Maha Baik. Yang cukuplah Dia tempat bergantung dan memohon pertolongan.
Dalam firman surat Al-Munafiqun ayat 9, disampaikan kalau orang beriman tidak boleh goyah pJIada persoalan atau ihwal duniawi: Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka itulah golongan orang-orang yang merugi.
Apalagi, pada salah satu baris doa iftitah waktu sembahyang, berjanjilah kita saat itu dengan lafal: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanya untuk Allahu Penguasa Alam Raya. Ketauhidan hati dapat tercoreng oleh perasaan menduakan Allahu ta ‘ala, yang dalam beberapa riwayat disebut “pencemburu” tersebut.
Yang juga menarik dalam hamdalah atau kalam pujian Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin ini adalah tentang balasan yang diterima bagi mereka yang mengucapkannya. Secara umum, Fi Zhilalil Quran juga menerangkan bahwa Allahu ta ‘ala begitu senang dengan ucapan pujian dari hambanya, sehingga Dia sendiri yang akan membalas semua itu, tatkala kelak hamba tersebut menemuinya di hari pembalasan.
Balasan serupa ini mirip dengan balasan orang yang berpuasa. Allahu ta ‘ala seakan merahasiakan ganjaran tersebut. Mari berprasangka baik, bahwa kerahasiaan oleh Zat Yang Maha Mulia ini pasti tidak akan berakhir mengecewakan di akhirat kelak.
Redaksi kalimat pujian yang tersurat dalam sebuah hadist riwayat Ibnu Majah dan dkutip dalam tafsir Sayyid Qutub tadi adalah: Ya Rabbi, Lakal Hamdu kama yanbaghi li jalaali wajhika wa adzimi sulthoonika (Tuhanku, kepunyaan-Mu segala pujian sebagaimana yang layak bagi keluhuran-Mu dan keagungan kerajaan atau kekuasaan-Mu). Meski demikian, esensi kalimat itu sama dengan Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Sama-sama pujian pada Tuhan yang menunjukkan penyerahan diri dan ketauhidan seorang hamba.
Di sisi lain, ada begitu banyak jalur hadist lain yang menerangkan tentang keistimewaan kalimah hamdalah yang teksnya persis seperti di surat Al-Fatihah tersebut. Bila melihat dan memaknai hadist-hadist tersebut, muncul kesimpulan, bahwa kalimat tersebut adalah kalam rayuan nomor wahid. Dengan kalimat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Tuhan akan memiliki alasan untuk mengabulkan apapun doa hambanya.
Dari Jabir bin Abdullah RA berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallahu dan doa yang paling utama adalah Al-hamdu Lillah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Maka itu, doa yang diawali, disisipi, ataupun diakhiri dengan kalimat tersebut, bakal lebih lancar untuk melangit dan terkabul. Apalagi, bila diiringi pula dengan asmaul husna paling tidak yang terkandung dalam bacaan basmalah (ayat pertama surah Al-Fatihah), sholawat pada Nabi Muhammad sebagai manusia kesayangan Allahu ta ‘ala, dan istighfar sebagai bukti kepasrahan dan pengakuan akan ketidakberdayaan seorang hamba yang selalu butuh ampunan serta jalan keluar dari segala permasalahan.
Dalam sejumlah riwayat disebutkan, Nabi Muhammad pernah mengatakan yang maknanya kira-kira demikian: Jika salah seorang d
Sedangkan di riwayat lain, disampaikan bahwa siapapun yang senaentiasa beristighfar atau memohon ampun pada Allahu ta ‘ala, Tuhan Yang Maha Pengampun itu akan memberikannya jalan keluar dari berbagai kesempitan, kebebasan dari keresahan, dan rizki dari tempat yang tiada terduga (baca: HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Kesimpulannya, mengemas doa dengan membaca asma ul husna, hamdalah, sholawat dan istighfar, pasti membuat doa tersebut mustajab. Juga, akan memberikan keberkahan bagi pendoa atau hamba yang tengah melayangkan keinginan pada Rab-nya itu.
Sejumlah ulama berpendapat, kalimat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin adalah bentuk pujian pada Allahu ta ‘ala, sekaligus bukti rasa syukur. Oleh karena itu, umumnya, orang yang baru mendapat kenikmatan, selalu mengucapkan kalam ini.
Bila disesuaikan dengan ayat 7 dalam Surat Ibrahim, bersama rasa syukur yang tersampaikan secara sungguh-sungguh, terdapat tambahan curahan nikmat dan rahmat Allahu ta ‘ala yang berlipat ganda. Muaranya, segala nikmat, kebutuhan, dan hajat baik untuk kepentingan di dunia dan akhirat pun, bakal dicukupkan.
Yang juga mesti diperhatikan, berdoalah dengan keyakinan bahwa akan dikabulkan. Sebagaimana dalil pada surah Al-Mukmin ayat 60, ud’uunii astajiblakum (berdoalah pada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan untukmu). Kalimat tadi, memakai fi’il amr, atau kata kerja perintah. Maknanya, berdoa itu adalah kewajiban atau perintah Allahu ta ‘ala.
Sementara dalam salah satu hadits dari Abu Said radliallahuanhu (baca: HR. Ahmad), ada setidaknya tiga cara Allahu ta ‘ala mengabulkan doa. Pertama, dikabulkan secara langsung. Kedua, ditunda pengabulannya, bahkan bisa jadi pahala yang bisa dipanen di akhirat kelak dan yang pasti, balasan yang baik di akhirat tidak akan meleset. Ketiga, dikabulkan dengan cara Allahu ta ‘ala mencurahkan kebaikan pada pendoa itu, atau menjauhkan bencana darinya.
Artinya, berdoalah karena itu adalah ibadah yang baik dan dijanjikan Allahu ta ‘ala pengabulannya. Yakinlah, Dialah Tuhan Yang Tak Akan Mengingkari Janji. Wallahu a’lam. (*)
Leave a reply Cancel reply
Paling Banyak Dikunjungi
-
Profil KH. Marzuqi Mustamar
21/09/2018 -
Hukum Hewan Piaraan Mengganggu Tetangga
24/04/2017
Most Views
About Us
ABOUT