Dialog Kebanggasaan untuk Merawat NKRI

0
783
Bagikan Sekarang

Menghadapi gelombang isu SARA yang makin menghangat akhir-akhir ini, dibutuhkan sebuah dialog kebangsaan yang melibatkan semua pihak dan elemen bangsa untuk merajut kembali makna dan hakikat kebhinekaan.

Indonesia ibarat rumah bersama yang begitu luas, besar dan megah. Di dalamnya hidup masyarakat yang heterogen. Maka di sinilah semua pihak wajib mengedepankan sikap toleransi, tenggang rasa dan sifat pluralisme.

Ekstrimisme lahir karena sebagian pihak menggunakan interpretasi wahyu ilahiyah sebagai tameng pembenaran untuk mengkutuk pihak lain. Sementara radikalisme lahir karena satu pihak tidak memahami dan tidak mau mengerti bagaimana budaya lain dijalankan oleh pemeluknya. Hingga timbulah sikap eksklusivisme.

Bertempat di Surabaya (5/8), diselenggarakannya dialog kebangsaan yang melibatkan pelbagai unsur masyarakat seperti akademisi, pelajar, organisasi kemasyarakatan keagamaan dari lintas agama. Adapun sub tema yang dibahas di forum ini, mulai dari prespektif kebudayaan, nasionalisme hingga dampak fake news (berita palsu) di sosmed terhadap kehidupan sehari-hari.

Pematerinya pun dari beragam latar belakang. Ada Prof Sumanto Al-Qurtuby (antropolog), Pdt. Crystia Andre (GKJW Batu), Prof Masdar Hilmy (UIN Surabaya) dan Prof Henry Subiakto (staf ahli Menkominfo). Berikut catatan Akhmad Kanzul Fikri, pengasuh Pondok Pesantren al-Aqobah dan anggota ISNU Jombang.


Rentan Konflik Horizontal

Parahnya, kebhinnekaan kita terancam pudar karena isu suku, agama, ras dan antargolongan atau SARAyang berasal dari berita hoax dan situs abal-abal untuk kepentingan tertentu. Menurut Prof Henry Subiakto, arus berita online yang berisikan hoax jumlahnya sangat masif dan tidak terbendung.

Hal ini pula yang membuat negara bisa menjadi kolaps dan terjadi perang horizontal karena isu murahan yang dihembuskan pihak tak bertanggung jawab. Ambil contoh Suriah dan Libya yang terus berkonflik. Tak salah jika pemerintah RI telah memblokir aplikasi Telegram yang nyatanya telah dimanfaatkan para teroris serta memperketat kegiatan bersosial media warganya dengan adanya UU ITE.

Generasi muda (atau disebut Y Generation) yang tumbuh dan bersinggungan langsung dengan gawai, harus cermat dan cerdas dalam memilah berita, serta tidak mudah terprovokasi dengan fake news dan konten negatif lain. Baik berupa berita yang telah diedit, diganti judul, atau bahkan diganti tanggal beritanya.

Itulah mengapa, setiap berita yang diterima harus dicek kebenarannya, memfilternya, kemudian mempertimbangkan apakah pantas dishare atau tidak. Karena berita yang menurut kita benar, belum tentu dianggap baik pihak lain.

Mengelola Keberagaman
Untuk memperkuat dialog kebangsaan ini, Prof Sumanto al-Qurtuby, antropolog yang telah malang melintang menjadi dosen dan peneliti kajian budaya di berbagai negara (USA, Saudi, Singapura), menandaskan bahwa masyarakat memang gampang tertipu oleh penampilan dan simbol budaya dari luar, yang belum tentu cocok untuk ditampilkan di negeri ini.

Bahkan secara ideologi dan organisasi politik, semua yang berasal dari asing begitu mudahnya masuk dan diterima di negeri ini. Sebut saja Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir hingga Jamaah Tabligh. Negatifnya, ormas tersebut membawa ideologi yang tak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Ini menunjukkan bahwa bangsa kita memang sedang krisis jati diri serta mudah silau dengan “produk impor” dari bangsa asing.
Para provokator seolah paham betul bahwa rakyat paling mudah jika digiring isu agama, karena memang secara fakta Indonesia adalah negara paling religius, mengalahkan Mesir, Malaysia, hingga Saudi Arabia sekalipun.

Anda tidak percaya? Cobalah lihat ada berapa ratus ribu madrasah, kampus Islam, pengajian, lembaga dakwah, jamaah shalawat, kumpulan majlis dzikir, tayangan religius dan siraman rohani yang berjibun di televisi, dan lain sebagainya. Satu sisi hal tersebut sangatlah positif. Namun sayangnya, kesalehan ritual di atas tak diiringi dengan keshalehan individu.

Salah satu problem besar bangsa ini adalah mengelola keberagaman. Harus disadari, ada pihak tertentu yang tidak suka keberagaman di negeri ini. Mereka dengan mudah memainkan isu agama dan budaya untuk menunggangi, membelokkan dan memprovokasi nilai kemajemukan yang ada. Semua ujung-ujungnya adalah demi memuluskan syahwat para pejabat yang ambisius atau pengusaha yang kapitalis.
Sebagai penutup, sudah saatnya semua pihak duduk bersama, berbincang dan berdialog dengan sikap saling menghargai guna mengurai benang kusut problematika bangsa ini. Patut diingat, keberagaman adalah keniscayaan, bukan untuk diratapi, tetapi untuk disyukuri.

Leave a reply