Dalam Beragama, Tak Cukup Hanya Berbekal Akal

0
727
Bagikan Sekarang

Jember — Perintah Allah bersifat mutlak dan absolut. Apa dan bagaimanapun harus diterima tanpa perlu menunggu persetujuan akal. Sebab, akal tidak selamanya mampu mencerna kebenaran.

Penegasan ini disampaikan Katib PCNU Jember, Kiai M.N. Harisudin saat menyampaikan khutbah Idul Adha di Masjid Riyadus Sholihin, Kelurahan Gebang, Kecamatan Kaliwates, Jember, Senin (12/9). Pengasuh Ponpes Riyadus Solihin, KH. Mushodiq Fikri, S.Sos juga hadir dalam kesempatan tersebut, berbaur dengan ratusan warga sekitar.

Menurut Kiai Harisuddin, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS agar menyembelih anaknya, Nabi Ismail AS, sesungguhnya dari sisi akal sehat tidak bisa diterima. “Karena bagaimana mungkin Nabi Ibrahim AS disuruh menyembelih darah dagingnya sendiri yang kehadirannya begitu dirindukan berpuluh-puluh tahun lamanya,” kata Pengasuh Pesantren Darul Hikam tersebut .

“Namun karena tunduk dan patuh kepada perintah Allah, maka perintah tersebut dilaksanakan. Dan di situlah ukuran ketakwaan Nabi Ibrahim karena disamping sebagai rasionalis, juga pribadi yang sangat kritis bertanya tentang Tuhan,” kata dosen Pascasarjana IAIN Jember ini.

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur itu menambahkan, dalam beragama terdapat aturan syariat yang masuk akal (ta’aqquli) dan tidak masuk akal (ta’abbudi). Ta’abbudi adalah aturan yang terkait dengan ibadah mahdlah seperti shalat lima waktu, jumlah rakaat, tata cara haji, puasa dan sebagainya. Akal tidak mampu memperoleh alasan misalnya mengapa jumlah rakaat Shalat Ashar 4 rakaat dan Subuh 2 rakaat dan sebagainya. Akal juga tidak bisa mengerti mengapa ibadah haji harus dilakukan dengan cara mengelilingi Ka’bah yang hanya batu itu.

“Jawabannya, karena itu ta’abbudi, yang tidak bisa diganggu gugat dan harus diterima apa adanya. Akal tidak mampu merasionalkannya,” tutur dosen di sejumlah kampus ini. Kiai Harisudin lalu menyitir pendapat filosof Barat, Immanuel Kant, yang mengkritik orang yang selalu mendewakan akal. Seolah akal adalah segalanya. Padahal, akal sangatlah terbatas. Keterbatasan tersebut bisa dilihat dari ketidakmampuan akal menembus kebenaran yang dicari usai kematian. Akal juga tidak bisa menembus kebenaran akhirat.

“Ketidakmampuan akal dalam memahami pesan Tuhan harus dipahami sebagai bentuk keterbatasan akal. Karena terbatas ini, maka agama Islam memberi kabar tentang akhirat, kehidupan setelah kematian, hari kiamat dan lain sebagainya yang tidak bisa dipahami akal. Karena itu, dalam menyikapi perintah Allah, tidak boleh hanya melihat dari sisi rasionalitasnya semata,” pungkasnya. (Anwari/saiful)

Leave a reply