Shalat sebagai Mi’raj-nya umat Islam

Peristiwa dan semarak memperingati Isra’ Mi’raj masih terasa di beberapa tempat. Sejumlah lembaga pendidikan, tempat ibadah, bahkan kampung hingga perkantoran seakan berlomba menyambut hari bersejarah tersebut. Hal ini tentu saja sangat membanggakan.
Akan tetapi, di antara gemerlap peringatan tersebut, sejenak mari kita renungi makna dan pesan yang disampaikan dari perjalanan baginda Nabi Muhammad SAW tersebut. Hal ini tidak kalah penting dan mungkin menjadi sangat relevan agar peringatan tidak berhenti sekedar seremonial. Sehingga usai memperingati peristiwa bersejarah tersebut, kita semakin menjadi muslim terbaik.
Ya, Isra’ Mi’raj yang setiap tahun dirayakan sebenarnya merupakan tonggak peresmian shalat lima waktu yang tiap hari kita kerjakan. Jika boleh dikata, Isra’ Mi’raj merupakan diresmikannya hari shalat lima waktu. Sebab di hari itulah Nabi Muhammad Mi’raj menghadap Allah Taala untuk menerima tugas berupa shalat untuk umatnya.
Dalam pandangan penulis, substansi Isra’ Mi’raj sendiri bukanlah hanya terpaku pada persoalan Nabi Muhammad Isra’ Mi’raj dengan jiwa raga utuhnya maupun berupa tawar-menawar antara Allah dan Nabi Muhammad terkait bilangan (kuantitas) rakaat shalat seperti yang dikisahkan selama ini. Namun lebih dari itu, substansinya adalah kualitas dari shalat itu sendiri.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa shalat memiliki syarat sah dan rukun. Syarat sah itu mencakup Islam, berakal, tamyiz, suci dari hadats, menutup aurat, masuk waktu, menghadap kiblat, hingga niat. Sedangkan rukun shalat dikerjakan di dalam shalat yang mencakup qiraah Fatihah, ruku’, i’tidal, sujud, thuma’ninah, duduk di antara dua sujud, serta salam.
Isra’ yang diartikan sebagai perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa jika boleh dianalogkan merupakan ”proses perjalanan dari syarat sah shalat menuju ke rukun shalat”. Dari sinilah bisa difahami bahwa ketika kita menyempurnakan syarat sahnya shalat, berarti telah “napak tilas” Isra’ sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Adapun Mi’raj yang yang diartikan dengan naiknya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa ke SidrAtul Muntaha ini juga jika dianalogkan merupakan “Naiknya seorang hamba yang tengah menjalankan shalat dari tempat sujudnya dengan menyempurnakan sejumlah rukun shalat untuk menuju bersimpuh kepada Allah.” Mi’raj diartikan sebagai “naik”, sebab seluruh perhatian jiwa raga seorang hamba “naik” sowan kepada Allah, atau istilah populernya dikenal sebagai khusyu’.
Dengan demikian kualitas shalat haruslah dimulai dengan memperhatikan kesempurnaan seluruh rangkaian pendukung dari mulai wudu’, takbiratul ihram, niat dan khusyu’ di dalamnya. Bukan sekedar wudu’ lalu shalat hanya bertujuan memenuhi kewajiban saja. Dari shalat yang berkualitaslah akan tercapai tanha anil fakhsya wal munkar (mncegah perbuatan buruk dan mungkar).
Bila diaplikasikan dalam kehidupan sosial, maka terpancarlah atsar atau bekas sujud yang berupa tawadu’, jujur, adil dan nilai positif lainnya. Hal ini juga sebagai sanggahan kalangan yang hanya “berburu” jidat gosong. Mari kita jaga shalat (dengan penuh khusyu’) karena salah satu bentuk terimakasih dan syukur terkait dengan Isra’ Mi’raj adalah menjaga shalat serta mengajarkan kepada anak cucu maupun masyarakat kita. Wallahu a’lam
Ahmad Karomi, LTN PWNU Jatim.