Oleh: Sholehuddin*
Dunia pendidikan kembali tercoreng, menyusul tragedi pemukulan seorang oknum siswa terhadap Guru Honorer di SMAN 1 Torjun Sampang Madura. Kejadian ini menambah daftar potret buram pendidikan di Indonesia. Pasalnya, peristiwa itu terjadi pada jam pembelajaran berlangsung. Tak heran, kasus ini menjadi isu nasional. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengirim karangan bunga dan mengutus Dirjen Dikdasmen Hamid Muhammad. Tidak hanya itu, Kemendikbud juga memberikan beasiswa kepada calon bayi yang dikandung sang istri.
Meskipun keluarga sudah mengikhlaskan, tapi ini menjadi pukulan telak dan catatan penting bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Pasalnya, pemerintah saat ini tengah mencanangkan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Bahkan sudah meneken Peraturan Pemerintah No. 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Pertanyaannya, sejauh mana implementasi PPK di sekolah?
Dalam Perpres itu disebutkan “PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental”. Fakta ini menunjukkan tidak adanya harmonisasi empat unsur tadi pada diri pelaku di lingkungan sekolah. Artinya, PPK yang sudah menjadi kebijakan nasional belum kuat dalam implementasinya.
Implementasi di Sekolah dan Pembelajaran
Sebagai gerakan yang menjadi tanggung jawab sekolah, PPK harus menjadi masif dilaksanakan pada tataran satuan pendidikan. Terobosan dalam membangun karakter peserta didik harus dilakukan oleh masing-masing sekolah. Sudah saatnya sekolah menjadikan karakter sebagai branding, selain branding yang bersifat pengembangan intelektual dan keterampilan. Harus diyakini, buat apa sekolah atau peserta didik unggul di bidang sains, tapi lemah dalam hal karakter.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan, ilmu yang utama adalah ilmu tingkah laku. Sebaik-baik tingkah laku adalah menjaga tingkah laku itu sendiri. Artinya, tidak saja sangat penting mempelajari karakter, tapi menerapkan dan konsisten lalu menjadi budaya. Itulah yang paling penting dan menjadi harapan semua. Karena itu dalam konteks pembelajaran, karakter ini tidak diajarkan secara langsung (indirect learning), tp diinternalisasikan dalam setiap mata pelajaran utamanya agama dan PPkN.
Pengembangan Sekolah Religi: Sebuah Keniscayaan
Karakter utama dan pertama yang harus dibangun dalam PPK adalah religius. Sebab, agama harus menjadi sumber nilai utama dalam hidup seseorang. Karena itu diperlukan pengembangan sekolah religi yang menjadikan agama sebagai budaya sekolah (religius culture) seperti yang digagas oleh Kementerian Agama melalui Direktorat PAI pada Sekolah.
Sekolah Religi adalah sebuah pola pengembangan pendidikan karakter agama di sekolah (bukan madrasah) yang digagas oleh Kementerian Agama. Leading sektornya tidak lain Direktorat PAI pada Sekolah (PAIS). Ada beberapa sekolah yang menjadi pilot project, salah satunya adalah SMAN 15 Surabaya yang sudah menerapkan program ini. Yang menarik, ketua program bukannya guru agama, tapi non agama, dan guru agama cukup menjadi wakil ketua. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Sekolah, tim ini bekerja mengembangkan karakter religi peserta didik dengan berbagai kegiatan.
Berdasarkan hasil penelitian disertasi saya, salah satunya ditemukan data dan fakta yang unik yakni sangat baiknya budi pekerti peserta didik di sekolah di kawasan Surabaya Selatan itu. Paling tidak ditunjukkan ketika saya menghampiri salah seorang peserta didik dan berjabat tangan, mereka cium tangan saya sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua. Saya pun diantar ke seorang guru agama yang memang saya cari.
Sekolah ini juga pernah mendapat penghargaan dari Mendikbud Anis Baswedan kala itu sebagai sekolah berintegritas. Slogan-slogan pesan moral menempel di beberapa tempat. Pada jam istirahat, tanpa komando ratusan peserta didik melaksanakan salat dhuha secara bergelombang.
Salah saorang guru agama setempat menuturkan, doktrin pembudidayaan nilai agama semula berasal dari guru, namun selanjutnya dilakukan oleh senior mereka pada Masa Orientasi Sekolah (MOS). Dan itu berlanjut kepada yuniornya. Kepemimpinan juga menjadi bagian karakter yang dikembangkan, salah satunya melalui kegiatan Rohani Islam (ROHIS), yang punya pogram unggulan festival tahunan yang diikuti peserta se- Gerbangkertosusilo. Dengan demikian, sekolah religi menjadi salah satu pola yang bisa dikembangkan sebagai penerjemahan PPK.
Tentu saja sekolah tidak boleh sendirian. Selain pemerintah (Kemendikbud, Kemenag dan Kemendagri) bersinergi sesuai amanah Perpres yang kemudian ditindaklanjuti pemerintah daerah sebagai pelaksana pendidikan di tingkat lokal, tapi juga stakeholder. Karena itu dalam hal ini Sekolah Religi dalam PPK tidak saja melibatkan sekolah, tapi juga orang tua dan masyarakat. Orang tua dan masyarakat tidak boleh diam jika ada gelagat perilaku anak-anak dan remaja yang menyimpang. Inilah yang disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Ketiga unsur ini bersama pemerintah dan pemerintah daerah harus bersinergi dalam mencapai goal PPK, mengantarkan generasi emas.
Dengan penguatan pendidikan karakter yang dipertajam melalui Sekolah Religi, diharapkan kejadian yang sama tidak terulang. Biarlah Pak Budi sebagai pahlawan pendidikan. Selamat jalan Pak Budi!.
*Dr. Sholehuddin, M.Pd.I. adalah widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya, Bidang Penjaminan Mutu Madrasah PWNU LP Ma’arif Jatim, Dosen IAI Al Khoziny Sidoarjo dan Ketua PC ISNU Sidoarjo.