Potret Tiga Wilayah Pinggiran Indonesia, Papua, Maluku Utara dan Kalimantan Utara

Jakarta – Papua adalah provinsi yang berada di ujung timur perbatasan Indonesia. Beranekaragam suku, budaya, dan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersimpan di dalamnya, menjadi kekayaan tersendiri untuk negara ini. Meski begitu, Papua oleh sebagian publik selalu disorot sebagai wilayah yang keras, menyeramkan, dan sering terjadi pembantaian, perang antar suku dan sebagainya. Namun hal itu tidaklah semuanya benar.
Demikian disampaikan oleh Dr Eko Siswanto, pembicara dalam sharing session bertajuk ‘Cerita Indonesia dari Pinggir’ acara Pra-Muktamar Pemikiran Dosen PMII secara virtual pada Kamis, (1/4).
“Dukungan pemerintah pusat untuk Papua dalam rangka mengembangkan Sumber Daya Alam (SDA) dan infrastruktur dapat dilihat dengan adanya Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) yang diakomodir dalam UU No. 21/2001 jo. UU No. 35/2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat,” terang Dr Eko Siswanto yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua.
Meski begitu, lanjut pria asal Tulungagung itu menilai, dana otsus tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat Papua. Hal tersebut dikarenakan sulitnya akses pendidikan dan kesehatan, termasuk infrastruktur perhubungan antar wilayah.
Potret Ekonomi di Sulawesi
“Pendidikan kita masih sangat tertinggal dengan wilayah Jawa, termasuk juga Sulawesi. Untuk berkunjung ke kabupaten seberang, kita harus naik pesawat karena jalur darat sulit diakses. Tidak hanya itu. Para masyarakat asli Papua masih banyak yang berjualan di pinggiran jalan, berjualan pinang, jagung bakar dan lainnya,” ungkap Dr Eko Siswanto yang juga alumni aktivis PMII ini.
Dengan itu dirinya berharap agar pemerintah pusat terus memberikan perhatian yang lebih untuk wilayah ujung timur Indonesia ini. Dalam rangka membangun sinergi antar pemerintah, adat dan agama.
“Pemerataan kesejahteraan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur tanpa terkecuali untuk penduduk asli Papua, adalah kunci untuk membangun negeri ini dari ketertinggalan,” tambahnya.
Di sisi lain, Dr Muhtar A. Adam salah satu dosen dari Universitas Khairun Ternate menyebutkan, jika Indonesia untuk ke depannya tidak bisa lagi untuk melihat asal seseorang dari jenis suku atau etnisnya. Hal ini menurutnya dikarenakan terjadinya turbulensi pertumbuhan yang terus bergerak melalui adanya perkawinan silang antar suku di Indonesia.
Solusi Logistik Papua
Dengan adanya fenomena tersebut, Dr Muhtar yang juga Kepala Kampung Malenesia Maluku Utara itu menilai, kebutuhan infrastruktur saat ini berbeda dengan masa lalu di mana infrastruktur menjadi solusi untuk persoalan logistik. Menurutnya saat ini yang dibutuhkan adalah infrastruktur berbasis digital untuk mengatasi problem pendidikan.
“Jaringan internet untuk kebutuhan pendidikan khususnya di kawasan pinggiran, hal itu lebih kita butuhkan dari pada seberapa panjang jalan yang akan kita bangun,” jelas Dr Muhtar.
Menurut Dr Muhtar, adanya teknologi jaringan, menjadikan hubungan sosial seseorang semakin mengglobal dan aktif menjadi bagian dari masyarakat dunia yang terintegrasi oleh sebuah sistem yang terbangun.
Dirinya juga menilai jika disparitas harga pangan antar pulau Jawa dengan Maluku dan Papua terus terjadi selama tidak terbangunnya sistem logistik yang efisien.
“Kita sepakat bersumpah bertumpah darah satu, berbahasa satu, berbangsa satu. Tapi tidak sepakat dengan satu harga satu Indonesia,” tegasnya.
Di acara yang sama, Muhammad Arbain, narasumber yang juga tokoh akademisi di wilayah perbatasan, tepatnya Kalimantan Utara, memberikan gambaran jika di wilayah tersebut banyak sekali kejadian unik. Misalnya rumah yang berdiri di atas wilayah perbatasan Malaysia dan Indonesia.
Ringgit di Kalimantan Utara
“Banyak sekali rumah yang berdiri di area perbatasan. Misalnya ruang tamu yang masuk wilayah Indonesia, sedangkan dapurnya masuk wilayah Malaysia,” kata Arbain yang juga dosen dari Universitas Borneo Tarakan.
Tidak hanya itu, lanjut Arbain, transaksi perekonomian di wilayah tersebut khususnya di daerah Sebatik, meski tergolong wilayah Indonesia, masyarakat di sana pada umumnya menggunakan ringgit, mata uang Malaysia sebagai alat tukar.
“Jadi kurs rupiah di daerah Sebatik jatuh. Masyarakat di sana pada umumnya lebih memilih menggunakan ringgit dari pada rupiah sebagai alat tukar, artinya ringgit lebih dominan,” jelasnya.
Arbain mengungkapkan, Kalimantan Utara sebagai provinsi yang baru dibentuk pada tahun 2012 silam, masih sangat banyak kekurangan, baik dari infrastruktur, perekonomian terlebih pendidikan. Menurutnya di Provinsi Kalimantan Utara hanya terdapat dua perguruan tinggi, yaitu Universitas Borneo dan Universitas Kaltara.
“Banyak sekali anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di perkebunan sawit negara Malaysia yang tidak sekolah, mereka hanya dibantu oleh para LSM setempat agar bisa mendapat pendidikan,” katanya. M Irwan Zamroni Ali