Pelaksanaan Shalat Idul Fitri di Rumah, Hasil Bahtsul Masail PBNU

0
609
Bagikan Sekarang

IBADAH — Hingga akhir bulan Ramadhan 1441 H./ 2020 M. ini, pandemi Covid 19 masih mengancam dunia termasuk Indonesia. Belum ada tanda-tanda virus ini akan segera punah. Bahkan, kini sudah jutaan manusia di seluruh dunia yang terpapar virus ini dan sebagiannya sudah dinyatakan meninggal dunia.

Walau belum maksimal, sebenarnya berbagai upaya untuk membatasi persebaran virus ini terus dilakukan. Salah satunya dengan melarang warga mengadakan acara atau kegiatan yang melibatkan masyarakaat umum, baik dalam jumlah kecil maupun besar.

Pemerintah meminta semua orang terutama yang tinggal di zona kuning dan merah untuk tetap berada di rumah kecuali ada hal-hal mendesak yang menuntut harus ke luar rumah. Namun, terlalu lama berada di rumah karena karantina tentu membosankan. Sebagian umat Islam mulai gelisah karena sejumlah ritual peribadatan tak bisa dilaksanakan secara normal. Jika sebelumnya Shalat Jumat tak bisa dilangsungkan karena kekhawatiran akan bahaya virus ini, maka sekarang bagaimana dengan Shalat ‘Idul Fitri yang hanya sekali dalam setahun itu? Apakah ia juga akan ditiadakan? Ataukah secara fikih Islam dimungkinkan melaksanakan Shalat Idul Fitri di rumah?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, publik Islam perlu tahu bahwa shalat Jumat dan shalat Idul Fitri memiliki bobot hukum berbeda. Sekiranya Shalat Jumat adalah perkara wajib berbasis individu (fardhu ‘ain), maka shalat Idul Fitri adalah perkara sunnah atau maksimal fardhu kifayah. Sebab, yang wajib bagi umat Islam pada tanggal 1 Syawal itu bukan Shalat ‘Id-nya melainkan tak berpuasanya.

Abu Ishaq al-Syairazi dalam kitab al-Muhadzdzab berkata:
“Shalat Idul Fitri dan Idul Adha hukumnya adalah sunnah, dan menurut Abu Said al-Ishtakhri hukumnya fardlu kifayah. Pendapat pertama adalah pendapat madzhab Syafi’i…Tidak boleh berpuasa pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, dan barang siapa yang berpuasa pada hari itu maka puasanya tidak sah.” (Abu Ishaq as-Syairazi, al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, I, h. 118 dan 187).

Sebagai perkara sunnah atau mandub, maka shalat idul fitri masuk dalam pengertian mandub yang dinyatakan sebagai sesuatu yang jika dikerjakan dapat pahala
والمندوب من حیث وصفھ بالندب ما یثاب على فعلھ ولا ) hukuman dapat tak ditinggalkan jika dan
تركھ على یعاقب .(Dengan demikian, sebagai perkara sunnah, shalat idul fitri bukan hanya diizinkan dan dianjurkan untuk dilakukan (فعلھ فى مأذون dan الفعل مطلوب (melainkan juga boleh sekiranya mau ditinggalkan (الترك جواز.(Artinya, jika umat Islam memilih meninggalkan shalat ‘id daripada melaksanakan shalat ‘id di masjid atau lapangan, maka masalahnya segera selesai.

Namun, soalnya bukan itu. Tapi, bagaimana umat Islam bisa melaksanakan Shalat ‘Id yang berpahala sunnah tersebut dengan aman dan nyaman, tanpa ada kekhawatiran akan terjangkit virus covid 19.

Penelitian singkat yang berhasil dilakukan menunjukkan bahwa dari sudut fikih Islam ternyata dimungkinkan bagi umat Islam melaksanakan shalat ‘id di rumah bersama keluarga atau sendirian. Sebab, berbeda dengan pelaksanaan shalat Jumat yang dalam madzhab Syafi’i dipersyaratakan dilaksanakan secara berjamaah dengan minimal 40 orang, maka shalat ‘id tak mempersyaratkan itu. Dengan demikian, shalat ‘id–baik ‘idul fitri maupun ‘idul adha–boleh dilaksanakan di rumah, baik secara berjamaah bersama keluarga minimal dua orang maupun sendirian.

“Begitu juga disyariatkan shalat Id bagi munfarid (shalat sendirian), hamba sahaya, perempuan dan musafir, khunsa, dan anak kecil. Shalay Id tidak harus memenuhi syarat-syarat shalat Jumat, seperti harus dilaksanakan berjamaah, jumlah jamaahnya dan selainnya.” (Muhammad asy-Syarbini alKhathib, Mughni al-Muhtaj, Bairut-Dar al-Fikr, juz, I, hal. 310).
Selanjutnya, bagaimana dengan khutbah ‘id-nya? Sebagaimana shalat ‘id itu sunnah, maka demikian juga khutbah ‘id-nya; sunnah. Karena itu, sekiranya shalat ‘id di rumah dilangsungkan secara berjamaah, maka disunnahkan setelah pelaksanaan shalat ‘id dilanjutkan dengan penyampaian khutbah. Bahkan, jika dalam satu keluarga misalnya tidak ada yang cakap berkhutbah, maka shalat ‘id tanpa khutbah ‘id juga sah.

Sebab, khutbah ‘id bukan merupakan syarat sah pelaksanaan shalat ‘id, tetapi hanya kesunnahan saja.

“Dan disunnahkan bagi para jamaah shalat Id untuk mendengarkan khutbah dengan baik. Baik khutbah dan mendengarkan khutbah bukanlah syarat bagi kesahan shalah Id. Kendati demikian, menurut Imam Syafii; ‘Apabila jamaah mengabaikan khutbah shalat Id, shalat gerhana, shalat istisqa` atau khutbah- khutbah haji, atau ia berbicara ketika khutbah berlangsung, pergi atau mengabaikannya, maka saya memakruhkan hal tersebut untuknya, dan ia tidak perlu mengulangi shalatnya.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al- Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Kairo-Dar al-Hadits, 1431 H/2010, Juz, V, hal. 80)

Namun, jika shalat ‘id di rumah dilakukan sendirian, maka tak ada anjuran untuk melakukan khutbah ‘id. Demikian ini menurut pendapat yang sahih dan masyhur di kalangan madzhab Syafi’i.

“Apabila kita menyatakan mengikuti madzhab ini (madzhab syafi’i) maka shalat ‘id yang dilakukan sendiri (tidak berjamaah) menurut pendapat madzhab yang sahih dan masyhur tidak perlu khutbah (tidak ada anjuran khutbah, pent). Demikian sebagaima ditetapkan oleh mayoritas dari kalangan madzhab syafii.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Kairo-Dar al-Hadits, 1431 H/2010, juz, V, hal. 83-84).

Pandangan fikih tentang kebolehan shalat ‘id di rumah itu bisa menjadi pegangan hukum umat Islam terutama yang berada di zona kuning. Sebab, menurut para fuqaha, salah satu yang bisa dijadikan alasan (udzr) untuk tidak melaksanaan shalat jamaah di masjid adalah adanya kekhawatiran (khauf) yang meliputi tiga hal yaitu kekhawatiran akan keselamatan jiwa, tercederainya kehormatan, dan kekhawatiran akan hilangnya harta benda.

“Pasal tentang udzur-udzur yang menyebabkan kebolehan untuk tidak melakasankan shalah jumat dan shalat jamaah.Udzur-udzur yang menyebabkan kebolehan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat dan Shalat Jamaah sehingga kemakruhan hilang sekiranyadisunnahkan dan tidak ada dosa sekiranya diwajibkan, adalah hujan, salju, cuaca yang sangat dingin baik siang maupun malam, apabila hujan atau salju mengenai pakainnya…dan sakit yang menyebabkan pengindapnya mendapatkan masyaqqah untuk menghadiri shalat jumat maupun shalat jamaah, dan hal ini sebagaimana masyaqqah yang menimpanya ketika hujan, meskipun tidak sampai pada batas yang menggugurkan kewajiban berdiri dalam shalat fardlu karena dianalogikan dengan udzur hujan. Lain halnya dengan sakit ringan seperti sakit kepala ringan atau panas yang biasa, yang bukan termasuk udzur…Dan di antara udzur lainnya adalah adalah adanya kekhawatiran atas keselamatan sesuatu yang ma’shum seperti jiwa, kehormatan atau harta benda.” (Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Manhaj al- Qawim, h. 303-304).

Namun, memperhatikan demikian berbahayanya virus ini, maka umat Islam yang berada di zona kuning pun dianjurkan mengambil dispensasi hukum (rukhshoh), yaitu memilih melaksanakan shalat ‘id di rumah masing-masing daripada melaksanakannya di masjid atau tanah lapang.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah senang manakala rukhsah-rukhsah-Nya (keringanan) diambil sebagaimana Dia pun senang manakala azimah-azimah-Nya dilaksanakan.” (HR. Ath-Thabarani dan al-Baihaqi)

Sementara di daerah yang sudah ditetapkan sebagai zona merah oleh pemerintah, haram hukumnya melaksanakan shalat ‘id di masjid atau tanah lapang. Sebab, menghindari kerumunan banyak orang yang diduga kuat sebagai salah satu sarana penyebaran virus corona adalah wajib. Dan secara fiqhiyyah, menjaga diri agar tidak tertular virus tersebut merupakan perkara wajib yang harus diutamakan daripada menjalankan shalat ‘id di masjid atau tanah lapang yang disunnahkan.

Apabila ada pertentangan antara yang wajib dan yang sunnah, maka yang wajib didahulukan dari yang sunnah.” (Syihabuddin al-Qarafi, al-Furuq, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1998 M, juz, II, h. 223).

Demikian hasil bahtsul masail tentang Pelaksanaan Shalat ‘Id di Rumah ini disampaikan untuk menjadi pegangan warga NU khususnya dan umat Islam Indonesia umumnya. Seraya berdoa, meminta pertolongan Allah SWT, semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) segera bebas dari pandemi Covid-19 tersebut.
.
Hasil putusan LBM PBNU ini dikeluarkan di Jakarta, 20 Mei 2020, ditandatangani KH. M. Nadjib Hassan (Ketua) dan Sarmidi Husna, MA (Sekretaris).
Bersama Tim Perumus:

  1. KH Afifuddin Muhajir (Rais Syuriyah PBNU)
  2. KH Miftah Faqih (Katib Syuriah PBNU)
  3. KH. Zulfa Mustofa (Katib Syiriyah PBNU)
  4. KH Najib Hasan (LBM PBNU)
  5. KH Abdul Moqsith Ghazali (LBM PBNU)
  6. KH Azizi Hasbullah (LBM PBNU)
  7. KH Mahbub Maafi (LBM PBNU)
  8. KH Asnawi Ridhwan (LBM PBNU)
  9. KH Sarmidi Husna (LBM PBNU)
  10. KH Darul Azka (LBM PWNU DIY)
  11. KH. Anis Masduqi (LBM PWNU DIY)

Leave a reply