Pakar UI: Perlawanan Macron Bukan pada Islam, Sekularisme Prancis Melawan Gereja
JAKARTA — Pakar politik Universitas Indonesia (UI) Mahmud Syaltout bicara soal Macron yang dianggap menghina Islam. Termasuk soal politik yang dijalani Prancis saat ini.
Menurut Mahmud Syaltout, Revolusi Prancis pada 1789 bukan hanya meruntuhkan sistem monarki menjadi republik. Juga meruntuhkan sistem praktik negara Agama, ketika Raja diangkat dan diberkati, serta kebijakan negara dipengaruhi gereja.
Pasca-Revolusi Prancis, menurut pakar politik Mahmud Syaltout, muncul semangat Laïcité yang kerap diterjemahkan sebagai Sekularisme atau Abanganisme.
“Jadi Laïcité itu pada mulanya justru anti gereja, anti nasrani, anti mayoritas. Kalau dianggap seolah anti islam, itu keliru,” kata Mahmud Syaltout, yang juga Wasekjen PP GP Ansor.
Laïcité merupakan istilah Prancis yang paling susah dipahami dan paling sering disalahpahami. Laïcité, kata Mahmud Syaltout, berasal dari kata laïc (m) atau laïque (f), yang artinya awam, orang biasa, rakyat jelata. Lawannya adalah clérical, orang alim, romo, imam, elit gereja.
“Jadi, semangat laïcité ini harus dipahami sebagai prinsip beragama orang awam, rakyat kebanyakan, para republikan, bukan beragama para romo,” kata doktor bidang Hukum, Manajemen, dan Hubungan Internasional dari Sorbonne, yang juga dilansir detik.com.
Merujuk semangat tersebut, setiap individu ketika di ruang publik angan sok-sokan tampak relijius, alim atau sangat gerejawi dengan menunjukan simbol-simbol keagamaan dalam atribut pakaian dan lainnya. Bila nekad menampilkan simbol kealiman di ruang publik, dia akan dipancung dengan pisau guillotine.
“Zaman itu, orang pakai anting-anting salib di ruang publik ya kena Guillotine! Bahkan pakai kalung bertuliskan “Christine” akan bernasib sama. Serem banget lah,” ujarnya.
Dalam perjalanannya, praktik penerapan prinsip laïcité semacam itu bikin resah. Pada 1905 dibentuk UU atau Loi 1905 tentang Laïcité untuk mengatur praktiknya di masyarakat guna memberikan kepastian hukum. (Red)