Kediri — Kamis (26/1) malam, KH Said Aqil Siroj kembali berkunjung ke almamaternya, yaitu Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. “Beliau ikut Ngaji “Hikam” Kamis Legi di Masjid Agung Lirboyo,” kata Nabil Harun, Sekjend Pagar Nusa yang mendampingi.
Kiai Said Aqil memang lekat dengan Lirboyo semenjak pamannya, KH Mahrus Ali, menjadi pengasuh di Ponpes tua tersebut.
“Saya dulu di Lirboyo ngaji bersama banyak sekali putera kiai, termasuk almarhum Mas Abdul Djalil bin Abdul Djalil, saudara kandung KH Nawawi Abdul Djalil yang saat ini pengasuh Ponpes Sidogiri Pasuruan,” katanya.
Dalam pengajian tersebut, Kiai Said memberikan catatan sebagai berikut:
Hakikat adalah pondasi, syariat adalah genteng, tembok adalah akhlaqul karimah. Orang berakhlaq baik belum tentu bertasawuf. Kenceng ibadah belum tentu hatinya bertasawuf. Tasawuf adalah ilmu hati, kondisinya dan makamnya/kedudukan di depan Allah dekat apa jauh.
Hati terbagi menjadi empat, dan yang terluar adalah: pertama, bashirah, mana baik mana buruk, diteruskan, kedua, dhamir atau moral, ia akan mengeluarkan dua kata: kerjakan atau tidak. Dan ini terbagi menjadi tiga, a) moral ijtima’i/lingkungan, misal, kalau di depan santri kenceng, kalau tidak ya tidak, b). moral qanuni/legal formal, misasl, saya mau kerja kalau ada gajinya, c). moral diniy/ agama, seperti Kanjeng Nabi Saw., baik ada uang atau tidak, ada amplop atau tidak, tetap pidato. Cara mengetahui dhamir ini baik atau buruk, “istafti qolbak”, mintalah fatwa ke hatimu.
Ketiga, fuad (hakim), tidak pernah bohong, hati murni, walaupun ngomong tidak mencuri tapi hati tetap tidak bisa bohong. Dan kelak yang ditanyai di akhirat adalah fuad ini. Kalau pertama diingkari, fuad lama-kelamaan akan lemah bersuara dan akan lantang pada kelak hari kiamat.
(Selingan) Kitab al-Asrar dibawa oleh Syaikh Wasil dan diterjemahkan oleh Jayabaya menjadi Serat Jayabaya.
Keempat, lathifah (shoftware), yang bisa mengakses lauhil mahfudz kalau diizini Allah. Makanya Syaikh Athaillah dawuh, “Gusti Allah tidak mahjub/terhalang-halangi. Tapi sampeyan yang terhalang-halangi”. Seperti surat teguran Sayyidina Umar ke Sungai Nil.
(Tambahan) Orang pertama yang mendefinisikan Tasawuf adalah Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, “Mencari kebenaran dan berpaling dari kepalsuan”. Diteruskan Syaikh Dzun Nun, “Sufi adalah orang yang mendahulkan Allah, mengalahkan yang lain”. Lalu, Syaikh Abu Yazid al-Basthami, “Sifat Allah dipakaikan ke panjenengan, itu baru sufi”.
Puncak sufi adalah Imam Junaid, “Sufi adalah orang yang tidak pernah ketinggalan zaman (Ibnu Zamanihi), warnanya seperti air, ditempatkan di mana saja tetap mengikuti tempatnya”. Artinya orang sufi adalah orang yang mampu mengikuti semua zaman.
(Ikhtitam) Semoga pengajian tasawuf tetap ada, karena itulah yang bisa menanggulangi Wahabi. Setiap orang pasti punya fase, muda biasanya nakal seperti saya dulu (disambut gerrr oleh peserta), tapi kalau sudah termakan usia, akan berubah.
Orang yang jadi paling pintar, paling kuat dan lain-lain, dia akan kesepian. Kalau spiritualnya tidak ada, ia akan lelah menjalani kehidupan, bahkan bunuh diri. Beda kalau sufi, semakin ia tinggi, maka semakin dekat dengan Allah dan tidak kesepian.
(Kisah penutup) Ada seorang pemuda memukul batu seratus kali tapi tidak pecah. Lalu bertemu kiai ndeso yang sudah sangat sepuh, ia berkata, “Coba saya yang pukul.”
“Lho emang bisa Kiai?”
“Coba saja…”
Bruaaaakkkkk… Lima kali pukulan ternyata batu itu pecah. Sang pemuda menjadi sangat heran, “Lhoooo,,,, njenengan ternyata sakti!!!”
“Yaaa enggak!!! Sebab batu itu pecahnya pada pukulan ke seratus lima, saya cuma nambah lima saja.”
Intinya, angan pernah putus asa, seberat apapun rintangan, kita jangan putus asa dengan rahmat Allah Ta’ala.
Demikilan nukilan dawuh KH Said Aqil Siraj, tanpa saya tampilkan al-Quran, hadist, maqolah ulama yang keluar dari bibir beliau dengan luar biasa yang menunjukkan betapa men-samuderanya ilmu beliau ini.
Sumber: DutaIslam