Nelangsa Puasa di Negeri Seberang

0
508
Bagikan Sekarang

Oleh: Dr Abdul Gaffar Karim (Dosen Fisipol UGM)

Ramadlan beberapa tahun lalu, saya agak ngos-ngosan. Hari-hari pertama berpuasa saya berada di Michigan. Saat itu bumi bagian utara sedang memasuki musim panas, sehingga hari menjadi panjang. Sahur memang biasa-biasa saja, sekitar jam 2.30. Namun kita harus menunggu hingga jam 22 untuk berbuka puasa.

Ini mengingatkan saya pada Ramadlan tahun 1998, ketika saya pertama kali tinggal di Australia. Saat itu Ramadlan bertepatan dengan bulan Desember, yang di belahan bumi selatan adalah musim panas. Dan panas di Australia bisa benar-benar menyengsarakan, sebab suhu bisa mencapai 40an derajat celcius. Kerongkongan bisa benar-benar kering seperti padang pasir.
Tahun lalu itu, usai berpuasa dalam hari-hari yang panjang di Michigan, saya bergeser ke Canberra, di belahan bumi selatan yang saat itu musim dingin. Hari memang pendek. Subuh jam 5.30, sedang maghrib sekitar jam 17. Jadi saya santai saja sahur jam 5 pagi tanpa harus bangun lebih awal dari jam biasanya.

Tapi suhu yang sedang dingin benar-benar membuat perut ber-hardrock tak karuan sepanjang hari. Kerongkongan memang tak kering, namun lambung rasanya melilit-lilit tak karuan. Pada kenyataannya, puasa saya malah bolong di hari musim dingin yang pendek di Australia, sementara puasa saya di Amerika dengan hari yang panjang dan panas selamat semua.

Itu baru masalah suhu dan masalah jam puasa yang panjang. Jika Anda pernah merasakan hidup di negeri-negeri itu agak lama, akan terasa bahwa persoalan menahan lapar di cuaca dan hari yang ekstrem itu hanya sebagian saja dari seluruh urusan.

Selama berpuasa di musim panas (yang saya alami di Amerika tahun lalu dan di Australia tahun-tahun 2000an), gangguan terbesar bagi lelaki normal seperti saya adalah orang yang lalu lalang dengan busana cenderung minim. Anda benar-benar harus bisa menjaga pandangan agar tak jelalatan memandangi aurat lawan jenis di sekitar. Jika tidak, pahala puasa Anda lenyap. Soal pemandangan orang lain makan-minum di sana-sini selama siang hari Ramadlan? Itu sih masalah kecil.

Jika Anda menikmati kemeriahan tarawih berjamaah selama Ramadlan, atau menikmati keriuhan suasana menjelang buka di masjid-masjid kita di sini, siap-siaplah nelangsa ketika berada di negeri dengan mayoritas non-Muslim itu. Jika Anda beruntung tinggal dekat masjid, mungkin tarawih dan lain-lain bisa rutin dilakukan. Jika tidak, maka Anda tergantung pada tarawih keliling yang biasanya diadakan oleh komunitas Indonesia seperti yang saya alami di Adelaide dan Perth dulu, dan di Canberra tahun lalu. Di Michigan saya malah sama sekali belum sempat melakukannya.

Jangan harap Anda bisa menikmati sahur sambil menunggu terdengarnya suara tarhim yang syahdu itu saat imsak tiba. Atau jangan harap Anda bisa menikmati buka puasa dengan kumandang adzan dari segala arah.
Puasa di negeri orang itu sama sekali tak seindah puasa di Indonesia. Sejak merasakan pengalaman itu, saya selalu berusaha mensyukuri segala kemeriahan Ramadlan di Indonesia (betapapun brebegnya seperti yang dilakukan oleh musalla di sebelah rumah saya sekarang).

Karena itu, sungguh aneh jika ada orang-orang di sini yang tak pandai mensyukuri kenikmatan Ramadlan, dan malah sibuk mencari-cari masalah. Berapa banyak di antara kita yang selama Ramadlan menambah aktivitas dengan mengamati apa yang tidak nyaman di sekitar kita? Bukankah kita sering sibuk mengeluhkan warung yang buka di siang hari saat Ramadlan? Malahan beberapa pemerintah daerah mengeluarkan aturan yang melarang warung berjualan makanan di siang hari, dan mengerahkan Satpol PP untuk melakukan aksi kekerasan demi menegakkan aturan aneh itu.

Kita tak sadar bahwa makan dan minum di siang hari Ramadlan itu halal-halal saja, kecuali bagi yang sedang berpuasa. Kita tahu bahwa tak semua orang lain berpuasa. Ada orang non-Muslim, ada perempuan Muslim yang sedang haid, ada orang yang sedang sakit, atau sedang dalam perjalanan. Ada banyak alasan mengapa orang tak berpuasa. Dan mereka boleh makan dan minum. Warung-warung pun tahu diri: mereka memasang tirai agar orang yang makan di situ tak terlihat dari luar.

Tapi tetap banyak yang lancang, dan mensweeping warung itu mencari orang yang sedang makan, seringkali dengan marah-marah berwajah sangar, seolah-olah orang yang sedang makan itu baru saja melakukan kejahatan kemanusiaan yang sangat dahsyat.

Kita belum sempat mensyukuri semua kenikmatan puasa Ramadlan di negeri ini, yang baru akan terasa ketika berada di negeri orang. Kita malah sibuk mencari keluhan apa yang bisa dikelola secara publik, bahkan dengan akhlaq yang buruk.
Jangan-jangan kita memang berpuasa bukan untuk mencari ridla Allah, melainkan untuk mencari laknat dari-Nya.

Leave a reply