Muslim Indonesia Pengikut Ulama Syafiiyah, Bukan Imam Syafi’i?

0
437
Bagikan Sekarang

HUJJAH ASWAJA — Para ustadz dan juru dakwah dari kalangan Salafi, kerap menyalah-nyalahkan praktik ibadah umat Islam secara umum di Indonesia. Bahkan, cara beribadah umat Islam, khususnya warga NU, dibid’ah-bid’ahkan.

Kini, mereka menyoal dan mempertanyakan: Muslim Indonesia pengikut ulama Syafi’iyah, bukan Imam Syafi’i. Benarkah demikian? Ini jawaban Ustadz Ma’ruf Khozin, Ketua Aswaja Center NU Jawa Timur, dalam 5 jawaban penting berikut:

Saya perlu segera menyelesaikan tulisan ini sebelum hari raya, nanti tinggal bermaafan. Sebab ceramah ustadz Salafi ini menyalahkan banyak amalan kita meski dalam durasi singkat. Biasanya saya cukup menjawab pakai hp, kali ini saya menulis di senjata kedua yang lebih besar, laptop.

Kelompok yang menamakan diri mereka sebagai Salafi ini tidaklah menggunakan sistem bermadzhab dalam memahami dalil. Sehingga tatkala mereka berbicara soal madzhab maka akan terlihat lucu, menggelikan dan memperlihatkan kualitas keilmuannya. Maka benar yang dikatakan oleh ahli hadis dari Madzhab Syafi’i, Al-Hafidz Ibnu Hajar:

وَإِذَا تَكَلَّمَ الْمَرْء فِي غَيْر فَنّه أَتَى بِهَذِهِ الْعَجَائِب

“Jika seseorang berbicara di luar keahliannya, maka ia menyampaikan hal-hal aneh” (Fathul Bari, 5/446)

Beberapa poin saja yang perlu saya jelaskan:

  1. Niat Dalam Shalat

Menurut ustadz ini melafalkan niat (nawaitu, ushalli dll) adalah bukan pendapat Imam Syafii, melainkan pendapat sebagian ulama Syafiiyah. Betulkah?

BOHONG! Mari kita baca dengan seksama:

أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ ، ثَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ كَانَ الشَّافِعِي إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ : بِسْمِ اللهِ مُوَجِّهًا لِبَيْتِ اللهِ مُؤَدِّيًا لِفَرْضِ اللهِ عَزَّ وَجَل َّاللهُ أَكْبَرُ

“Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’, ia berkata: ”Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam Shalat beliau mengucapkan: “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.” (Ibnu Al-Muqri, Al-Mu’jam: 317)

Katanya Imam Nawawi tidak menganjurkan? BOHONG LAGI!
Mari kita cek lagi tulisan Imam Nawawi, pentarjih utama Madzhab Syafii:

وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَيُنْدَبُ النُّطْقُ قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ.

“Dan niat di dalam hati. Dianjurkan mengucapkan niat sebelum takbir” (Minhaj Ath-Thalibin 1/26)

Saya bantu ustadz ini mengambil dari kitab Al-Majmu’, tetapi sayangnya tidak memahami dengan baik maksudnya:

فان نوى بقلبه ولم يتلفظ بلسانه أجزأه علي المذهب وبه قطع الجمهور وفيه الوجه الذى ذكره المصنف وذكره غيره وقال صاحب الحاوى هو قول ابى عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان لان الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير (المجموع – ج 3 / ص 277)

  1. Mengirim Pahala Al-Quran Tidak Sampai

Lagi-lagi ustadz ini hanya membaca literatur sekunder, kalaupun rujukannya ke sumber primer Madzhab Syafi’i belum menyeluruh. Mari kita amati, kita bareng-bareng melototi yang disampaikan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar:

وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا

“Al-Za’farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa” (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

وَهَذَا نَصٌّ غَرِيْب عَنِ الشَّافِعِي وَالزَّعْفَرَانِي مِنْ رُوَاةِ الْقَدِيْمِ وَهُوَ ثِقَة وَإِذَا لَمْ يَرِدْ فِي الْجَدِيْدِ مَا يُخَالِفُ مَنْصُوْصَ الْقَدِيْمِ فَهُوَ مَعْمُوْل بِهِ يلزم من ذلك أن يكون الشافعي قائلا بوصول ثواب القرآن لأن القرآن أشرف الذكر

“Ini penjelasan yang asing dari al-Syafi’i. Al-Za’farani adalah perawi Qaul Qadim, ia orang terpercaya. Dan jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan dengan penjelasan Qaul Qadim, maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan. Dengan begitu asy-Syafii mengatakan sampainya pahala al-Quran, sebab Quran adalah dzikir yang paling mulia ” (al-Imta’, Ibnu Hajar, I/11)

  1. Dzikir Suara Keras Setelah Shalat

Ustadz ini melewatkan kalimat awal Imam Syafii dan langsung memberi kesimpulan. Saya tidak tahu apakah beliau benar-benar melihat langsung ke kitab Al-Umm atau cuma sekedar mendengarkan. Baik saya bantu perlihatkan:

(قال الشافعي) وهذا من المباح للامام وغير المأموم قال وأى إمام ذكر الله بما وصفت جهرا أو سرا أو بغيره فحسن

Asy-Syafi’i berkata: “Ini adalah sesuatu yang boleh, bagi Imam atau selain makmum. Ia berkata: Jika ada imam yang berdzikir kepada Allah dengan bentuk dikeraskan, dilirihkan atau lainnya, maka ini BAIK” (Al-Umm 1/150)

Jadi soal dzikir suara keras dan tidaknya ada 2 pilihan, baik dan lebih baik. Kemudian Imam Syafii memilih (ikhtiar) yang lebih baik yaitu lirih. Tapi andaikan dikeraskan juga tidak apa-apa karena juga baik.

Di dalam Al-Umm tidak ada kata-kata Imam Syafi’i melarang. Berarti ustadz ini telah BOHONG lagi atas nama Imam Syafii.

  1. Mencukur Jenggot Haram

Kita perhatikan dahulu:

( فَائِدَةٌ ) قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ

Ar-Rafii dan An-Nawawi berkata bahwa makruh memotong jenggot. Hal ini ditentang oleh Ibnu Rif’ah bahwa Asy-Syafii menjelaskan dalam kitab Al-Umm hukumnya haram (Tuhfah 41/204)

Mengapa Iman Rafi’i dan Imam Nawawi sampai berbeda dengan Imam Madzhabnya? Sebab kedua Imam tersebut memiliki otoritas untuk menarjih beberapa pendapat Imam Asy-Syafii. Karena jika ada riwayat yang sahih itulah madzhab Syafii. Ternyata ditemukan sebuah riwayat dalam kitab Al-Bukhari bahwa Sahabat Ibnu Umar pernah memotong jenggot. Jika memotong jenggot adalah haram secara mutlak tentu tidak akan dilakukan oleh Ibnu Umar.

  1. Menulis Nama di Batu Nisan

Ustadz ini lagi-lagi tidak memiliki bekal cukup keilmuan yang memadai dalam istimbath hukum, yakni Ushul Fikih. Kata-kata ‘Nahy’ (larangan) ada yang haram dan ada yang makruh. Ketika menyampaikan larangan menulis di kuburan beliau mengutip hadis yang terdapat dalam riwayat Muslim tentang Tajshish. Saya cek berkali-kali tidak ditemukan dalam Sahih Muslim. Larangan menulis di kuburan itu riwayat An-Nasai, ustadz. Bukan di Sahih Muslim. Larangan menulis itu menurut sebagian ulama tidak haram, tapi makruh. Bahkan dalam riwayat Al-Hakim beliau kemukakan:

و ليس العمل عليها فإن أئمة المسلمين من الشرق إلى الغرب مكتوب على قبورهم و هو عمل أخذ به الخلف عن السلف

“Bukan ini (menulis di kuburan) yang diamalkan. Sebab para Imam dari Timur dan Barat tertulis dimakam mereka. Ini adalah amal yang telah diambil oleh ulama Khalaf dari ulama Salaf” (Al-Mustadrak, 1/525. Menurut Imam Adz-Dzahabi tetap disebut sebagai muhdats/ sesuatu yang baru)

Saya tidak perlu meneruskan lagi, sebab akan semakin membuka keilmuannya. Ia menyampaikan kesimpulan juga banyak salahnya. Menyampaikan Riwayat hadis juga salah. Jadi, jangan berbicara soal madzhab lain jika masih dangkal. Ibarat mangga yang belum matang rasanya kecut sekali, Ustadz.

Atas penjelasan Ustadz Ma’ruf Khozin ini, Menachem Ali, pakar manuskrip kuno menyampaikan komentar:
“Kutipan kitab-kitab yang ditulis oleh KH. Ma’ruf Khozin semuanya telah saya periksa, dan benar. Ini salah satu cara beliau mengedukasi umat agar seseorang tidak boleh memanipulasi data sekecil apapun. Inilah yang harus disosialisasikan. Semoga tulisan ini mencerahkan bagi siapapun.” (Red)

Leave a reply