Logika Kiai Pesantren Rakyat Tentang Peringatan Hari Kemerdekaan

0
575
Bagikan Sekarang

Oleh: Prof Dr KH Imam Suprayogo (Wakil Rais PWNU Jatim)

Kadang logika kiai pesantren terasa aneh, sederhana, tetapi juga logis. Hal demikian itu, tidak terkecuali, yang saya lihat terhadap Kiai Pesantren Rakyat, yang berada di Sumber Pucung, Malang Selatan. Kemarin pada hari Ahad, tanggal 14 Agustus, saya memenuhi tugas mengunjungi kegiatan para mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. Memang, saya sengaja meminta kepada Ibu Dr. Mufidah, selaku ketua LPM, jika ada kegiatan terkait dengan kemahasiswaan, agar saya dilibatkan, supaya berkesempatan ikut mengetahui berbagai kegiatan mahasiswa.

Kebetulan LPM sedang memiliki program kegiatan pengabdian masyarakat dengan melibatkan ratusan mahasiswa. Mereka itu, membuat program pemberdayaan masyarakat di pedesaan selama beberapa minggu atas bimbingan para dosen, di Malang Selatan. Kebetulan usul saya dipenuhi, saya diberi jadwal untuk mendatangi salah satu kegiatan di Kecamatan Bantur. Oleh karena lokasinya tidak terlalu jauh, saya singgah ke Pesantren Rakyat yang ada di Sumber Pucung, beberapa waktu yang lalu, gambaran tentang pesantren dimaksud telah saya tulis.

Banyak hal yang saya lihat dari kegiatan jenis pesantren yang belum terlalu dikenal oleh masyarakat tersebut. Satu di antaranya adalah tentang bagaimana kiai pesantren itu memaknai hari kemerdekaan. Menurut Kiai Abdullah Syam, pengasuh pesantren itu, kemerdekaan itu adalah milik semua rakyat Indonesia. Oleh karena itu, semua rakyat seharusnya merasa memiliki dan mensyukurinya. Sebagai bagian dari ekspresi rasa syukur itu, mereka diajak mengikuti upacaya bendera. Rakyat tidak cukup hanya dianjurkan memasang bendera merah putih di depan rumah, menyaksikan berbagai jenis perlombaan, dan karnaval yang diselenggarakan di masing desa atau kotanya.

Biasanya, di mana-mana, upacara bendera hanya dilaksanakan di sekolah-sekolah, kantor-kantor, kampus, kesatuan tentara, polisi, dan sejenisnya. Rakyat biasa tidak diajak untuk berupacara. Padahal seumpama seseorang selamanya hanya berposisi sebagai rakyat biasa, dan tidak pernah menjadi pegawai atau menduduki jabatan di kantor atau di tempat lain sejenisnya, maka selamanya tidak pernah ikut berupacara. Akhirnya, upacara hanya milik orang tertentu, dan bukan untuk rakyat. Ekspresi berbangga melalui kegiatan resmi, berbentuk upacara misalnya, hanya menjadi milik orang-orang tertentu dan bukan milik rakyat. Padahal rakyat pun segarusnya ikut memiliki dan merasakannya.

Sebagai pesantren rakyat, agar semua kalangan merasakan berupacara, maka Kiai Abdullah Syam, pengasuh pesantren rakyat, setiap tahun menyelenggarakan upacara hari ulang tahun kemerdekaan bersama rakyat. Semua warga masyarakat yang berada di lingkungan pesantrennya itu, tepat pada tanggal 17 Agustus, diajak melaksanakan upacara bendera. Oleh karena disebut rakyat, maka peserta upacara itu diikuti oleh semua kalangan, baik bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, anak-anak, pekerja maupun para penganguran, semuanya tanpa terkecuali.

Peserta upacara itu dianjurkan mengenakan pakaian harian masing-masing. Sekalipun mengikuti upacara bendera, mereka tidak perlu harus mengenakan pakaian seragam. Bagi petani mengenakan pakaian tani, pedagang mengenakan pakaian yang sehari-hari dipakai untuk berdagang, tukang becak, buruh, tukang, kuli bangunan, dan seterusnya, mengenakan pakaiannya sehari-hari. Demikian pula para santri, mereka mengenakan sarung, baju koko, dan peci. Agar tidak ada alasan tidak hadir, bagi ibu-ibu yang masih punya anak kecil, dipersilahkan anaknya dibawa serta.

Demikian pula kakek-kakek, nenek-nenek, dan siapapun, diajak untuk berupacara bendera yang dilaksanakan di halaman pesantren rakyat. Kiai Abdullah Syam, sebagai pengasuh pesantren, bertindak sebagai inspektur upacara. Namanya saja upacara rakyat, maka semua pesertanya juga rakyat. Mendasarkan pada logika Kiai pesantren rakyat, maka rakyat pun juga harus diajak ikut serta berupacara bendera, memperingari hari kemerdekaan bangsa dan negaranya. Rakyat tidak boleh sekedar melihat orang berupacara, tetapi juga harus ikut berupacara dan tentu yang lebih penting, merasakan kemerdekaan.

Keterlibatannya dalam berupacara, maka rakyat pun juga ikut menyanyi lagu Indonesia Raya, menirukan teks Pancasila, mendengarkan pembukaan UUD 1945, dan lain-lain sebagaimana layaknya upacara pada umumnya. Menurut Kiai Abdullah Syam, Pengasuh Pesantren Rakyat di Sumber Pucung, rakyat harus diajak, didampingi, didengarkan, dihargai dalam upaya membangun bangsa sesuai dengan tingkatan dan kemampuannya masing-masing. Sebagai warga negara yang ber-Pancasila, rakyat diajak menjalankan agamanya. Tetapi selain itu, juga diajak memecahkan problem ekonominya, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Kegiatan dimaksud ternyata berkembang dan berjalan baik. Akhirnya, saya berpandangan bahwa pendekatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh kiai muda ini sangat efektif, murah, menyenangkan, manusiawi, dan pelaksanaannya juga tidak rumit. Wallahu a’lam.

Leave a reply