Hukum Kebiri Kimia bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak, Keputusan BM PWNU Jawa Timur
SURABAYA — Maraknya kejahatan seksual yang menjadikan korban anak-anak menjadi keprihatinan bagi para ulama di lingkungan Nahdlatul Ulama. Akhirnya, PWNU Jawa Timur menggelar Bahtsul Masail tentang bagaimana hukum pidana kebiri kimia bagi Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam perspektif Fikih Islam?
Dalam Bahtsul Masail yang digelar di kantor PWNU Jawa Timur, Kamis 29 Agustus 2019, diputuskan bahwa hukum pidana kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dikategorikan sebagai ta’zir, namun demikian tidak diperbolehkan.
Dengan sejumlah alasan, antara lain:
Pertama, Takzir harus berdasarkan kemaslahatan.
Kedua, Mayoritas ulama mensyaratkan takzir tidak berdampak negatif, sementara kebiri kimia tidak hanya merusak organ reproduksi tapi dapat merusak organ yang lain, serta berdampak negatif pada kondisi psikologis pelaku.
Ketiga, Tidak sesuai dengan kode etik dan sumpah profesi dokter.
Keempat, Tidak sesuai dengan KUHP.
Dan untuk melindungi anak dari kejahatan seksual, maka pelaku harus dihukum dengan seberat-beratnya sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur tentang Hukum Kebiri Kimia bagi Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak itu, ditandatangani KH. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I. (Ketu LBM NU Jawa Timur) dan K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd.(Sekretaris LBM NU Jawa Timur).
Dalam sidang berlangsung alot, karena melalui berdebatan panjang. Sidang dimulai sejak usai Zhuhur hingga menjelang Maghrib, dengan memperhatikan paparan dari para ahli. Melibatkan para perumus dari pakar hukum, kedokteran, dan berbagai pihak terkait dengan masalah tersebut.
Tim Perumus:
- KH. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I.
- Dr. H. Muhammad Ma’ruf Syah
- dr. Edi Suyanto
- Dr. Eddy Suwito
- KH. MB Firjaun Barlaman
- KH. Suhairi Badrus
- K. Anang Darun Naja
- K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd.
- K. Muhammad Anas, S.Pd.I.
- K. Saiful Anwar
- KH. Ahmamd Jazuli Sholeh
- KH. Syihabuddin Sholeh, S.Ag.
- K. Muhammad Masykur Junaidi
- K. Muhammad Hamim HR, S.Ag.
- K. Lukmanul Hakim, S.Pd.I.
- K. Fathoni Muhammad, Lc. M.Si.
- M. Nasir
- Amirotul Mukminah
- Muzdalifah
- Zulfatul Mufidah, M.Pd.I.
- Eli Rosida
- Ida Rohmawati
Dalam permasalah tersebut, diketahui bahwa dari tahun ke tahun kejahatan seksual terhadap anak atau kejahatan pedofil di Indonesia terus terjadi, bahkan cenderung meningkat. Hukum pidana bagi pelaku sebagaimana dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak pun dianggap belum efektif sehingga pemerintah menerbitkan UU Nomor 17 tahun 2016 yang memberatkan sanksi pidana, di antaranya dengan menerapkan hukum kebiri kimia bagi pelaku.
Namun setelah Undang-Undang yang melegalkan hukuman kebiri kimia disahkan dan secara nyata digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto sebagai vonis terhadap salah seorang pelaku, pro kontra pun mengemuka.
Para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menganggapnya sebagai suatu pelanggaran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor karena bertentangan dengan sumpah dan kode etik profesi, sementara di sisi lain banyak pihak yang mendukungnya mengingat semakin meningkatnya kejahatan seksual terhadap anak dari waktu ke waktu.
“Dalam kondisi demikian Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur terpanggil hadir untuk mengkajinya secara ilmiah dalam perspektif fikih Islam sebagai bagian khidmahnya kepada masyarakat, bangsa dan negara,” tutur Kiai Asyhar Shofwan.
Fakta paling aktual dalam kasus ini terjadi di Mojokerto. Muhammad Aris (20), warga Dusun Mengelo, Desa/Kecamatan Sooko, Mojokerto, Jawa Timur, dijatuhi hukuman kebiri kimia. Dia juga harus menjalani hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta.
Sejak 2015 lalu, Muhammad Aris terbukti telah mencabuli 9 anak yang tersebar di Mojokerto. Modusnya, sepulang kerja menjadi tukang las, dia mencari mangsa. (Red)