Gus Dur dan Muktamar NU

Di atas champion terdapat agent, yang berarti mereka yang diberi tanggung jawab untuk mengimplementasikan perubahan. Posisinya sebagai ketua umum PBNU selama tiga periode (1984-1989; 1989-1994; dan 1994-1999) membuat Gus mampu meningkatkan perannya dari sekadar champion menjadi agent yang mengimplementasikan perubahan melalui ormas dengan jumlah pengikut terbesar ini.
0
311
Bagikan Sekarang

Oleh: Akh. Muzakki
Sekretaris PW NU Jawa Timur, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

pwnujatim.or.id — Sudah 12 tahun sejak 30 Desember 2009, Gus Dur meninggalkan kita semua. Namun, tokoh yang bernama KH Abdurrahman Wahid  itu senantiasa hadir di hati dan pikiran banyak gugusan warga bangsa ini. Persis seperti maksim Arab yang sangat berikut: Man ahabba syai’an fa katsura dzikruhu. Terjemahannya begini: barangsiapa yang sedang suka atas sesuatu, dia pasti akan sering menyebut-nyebutnya. Kata “menyebut-nyebut” di sini bisa dalam pengertian menyuarakan sesuatu yang disuka secara verbal, dan bisa pula berarti menjadikannya sebagai bagian penting yang integral dalam hidupnya, baik pribadi maupun kolektif organisasi.

Makna maksim di atas sangat kuat untuk bisa ditangkap dari kalangan penganut NU atas diri, pikiran, dan aksi Gus Dur. Perhelatan terbaru muktamar ke-34 NU di Lampung 23-24 Desember lalu menjadi bukti pembenarnya. Kedua kontestan calon ketua umum saat itu, KH Said Agil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf, sama-sama menjadikan Gus Dur bukan saja sebagai inspirator perjuangan, namun juga menjadikannya sebagai tagline atas ikhtiar sosialisai, yang dalam bahasa politik disebut kampanye, untuk memperebutkan dan meraih hati muktamirin.

Jika Kyai Said membangun tagline “melanjutkan perjuangan Gus Dur”, Gus Yahya mengembangkan jargon “menghidupkan Gus Dur”. Kedua calon ketua umum PBNU waktu itu tampak sama-sama menjadikan Gus Dur sebagai tema sentral perjuangan untuk merebut hati peserta muktamar. Kyai Said menjadikan Gus Dur sebagai simbol gerakan yang ingin dilanjutkan dalam kepemimpinan di NU. Gus Yahya menjadikan pikiran dan perilaku Gus Dur sebagai basis ideologi perjuangan yang ingin digelorakan dalam kepemimpinan di NU ke depan. Keduanya membangun komitmen seperti itu karena sama-sama memahami dengan baik betapa besarnya kharisma Gus Dur di kalangan warga nahdliyyin pada khusunya dan warga bangsa Indonesia pada umumnya.  

Mengapa keduanya menjadikan Gus Dur sebagai simbol dan destinasi perjuangan? Tentu pertanyaan ini sangat menarik sekali untuk diulas lebih jauh, sekaligus untuk mengurai apa yang telah diwariskan Gus Dur untuk bangsa dan negara serta agama di Indonesia ini dalam rangka memperingati haul wafatnya yang ke-12 tahun ini.

Dalam perkembangan Indonesia modern, Gus Dur telah menjadi ideolog baru di NU dan juga bangsa ini. Bukan saja dalam kaitannya dengan bagaimana memahami, memaknai dan menerjemahkan agama di tengah fakta sosial yang tidak tunggal di Indonesia, melainkan juga membangun relasi yang seimbang, setara, dan harmonis antara agama dan negara serta antara kekuatan masyarakat sipil dan negara.

Gus Dur dalam hidupnya mampu membangun konsep yang membuat agama dan lokalitas bukan dalam hubungan yang antagonistik, melainkan menempatkan keduanya dalam pola relasi yang saling komplementer. Keduanya bisa dibedakan tapi tak bisa dipisahkan, mirip dengan dua sisi mata uang (two sides of the same coin). Hal yang sama juga dia kembangkan untuk relasi antara agama dan negara serta antara kekuatan masyarakat sipil dan negara. Untuk konteks negara dengan multikulturalisme yang cukup tinggi seperti di Indonesia ini, pembangunan konsep relasi agama dan lokalitas yang komplementer, serta relasi agama dan negara yang harmonis serta hubungan masyarakat sipil dan negara yang setara seperti yang dilakukan Gus Dur dalam hidupnya sangat dibutuhkan dengan baik.

Apalagi, dalam konteks peran organisasional, Gus Dur telah berkesempatan dan sekaligus mampu memainkan tiga fungsi dengan baik. Ketiga fungi dimaksud meliputi champion (pemenang), agent (pelaku aktif perubahan), dan sponsor (pelopor).  Dalam perspektif tata kelola organisasi, champion berarti mereka yang percaya perubahan dan berusaha mendapatkan komitmen dan sumber daya untuk itu, tetapi mungkin tidak memiliki wewenang langsung untuk mewujudkannya. Sebagai pribadi, selama hidupnya Gus Dur sangat percaya perubahan sebagai instrument gerak sebuah masyarakat serta mampu membangun komitmen yang kuat untuk terjadinya perubahan di tengah masyarakat melalui aksi pemberdayaan dan atau pendampingan masyarakat.

Di atas champion terdapat agent, yang berarti mereka yang diberi tanggung jawab untuk mengimplementasikan perubahan. Posisinya sebagai ketua umum PBNU selama tiga periode (1984-1989; 1989-1994; dan 1994-1999) membuat Gus mampu meningkatkan perannya dari sekadar champion menjadi agent yang mengimplementasikan perubahan melalui ormas dengan jumlah pengikut terbesar ini.

Lebih lanjut, perdefinisi, sponsor berarti mereka yang memiliki kewenangan, melegitimasi, dan menunjukkan kepemilikan atas perubahan (authorizing sponsors), atau mereka yang memperkuat komitmen pribadi melalui perilaku aktif mereka sendiri yang terlihat (reinforcing sponsors). Dalam peran ini, melalui posisi terbaiknya sebagai Presiden RI (1999-2001), Gus Dur lebih lanjut meningkatkan peran organisasionalnya  dari sekadar champion lalu agent menjadi sponsor yang diberi kewenangan oleh negara untuk memimpin perubahan, terutama saat Indonesia keluar dari otoratiarisme selama 32 tahun selama periode Soeharto dan memantapkan reformasi yang setahun sebelumnya dipimpin oleh Presiden Habibie.

Di tengah menyeruaknya problem identifikasi sosial-politik dan keagaman terhadap kebutuhan relasi antara agama dan lokalitas, serta agama dan negara, dan bahkan masyarakat sipil dan pemerintah belakangan ini, memori publik pun lalu melayang ke khazanah sosial-intelektual yang telah diwariskan Gus Dur. Apalagi, saat problem tersebut tidak menemukan solusi dan kata akhir yang baik, ingatan publik pada Gus Dur pun semakin menemukan pembenarannya secara memadai. Rekam jejak Gus Dur yang piawai memainkan perannya sebagai individu dan pemimpin organisasi besar dalam membangun kohesi internal di NU maupun harmoni dengan gugus sosial lintas batas agama, suku, ras dan kelas sosial di Indonesia menimbulkan kerinduan besar publik.

Pasca reformasi hingga saat ini, belum muncul tokoh bangsa yang mampu membangun ideologi gerakan setara Gus Dur. Termasuk dari NU sekalipun. Maka, sangat pantas jika siapapun yang berada dalam lintasan kepemimpinan di NU pasti berusaha menghidupkan kembali gagasan pemikiran dan praktik sosial keagamaan hingga politik Gus Dur, tidak saja sebagai inspirasi melainkan juga sebagai referensi perjuangan diri dan organisasi. Muktamar ke-34 NU di Lampung tahun 2021 adalah bukti pembenar terkini salah satunya.   

(Dimuat di Harian Jawa Pos, kamis, 30 Des 2021)

Leave a reply