Gedung MODT, Monumen Perjuangan Ulama, Berikut Faktanya

Oleh: Riadi Ngasiran,
Pemimpin Redaksi Majalah AULA
HISTORIS — Dalam serangkaian perayaan Hari Santri 2019, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama menggelar Napak Tilas Sejarah Markas Perdjoeangan Oelama (MPO), Sabtu 16 November 2019. Situs yang sesungguhnya merupakan Markas Oelama Djawa Timoer (MODT, mengacu pada penulisan dalam sejarah), di Jalan Satria RT 17 WR 03, Kedungrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.
Di lokasi tempat para kiai melakukan koordinasi di masa perjuangan revolusi fisik, Revolusi Indonesia 1945-1949. Di lokasi inilah, kita tahu, para kiai menyampaikan instruksi guna membangkitkan soliditas laskar-laskar kerakyatan, yang khas kaum santri: Barisan Hizbullah-Sabilillah. Laskar-laskar rakyat yang lain, seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Pemberontak Repoeblik Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo, dll.
MODT merupakan perwujudan dari Fatwa Jihad yang digariskan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, yang menjadi dasar keluarkannya Resolusi Jihad fii Sabilillah yang dikeluarkan Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) atau Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU, kini).
Dalam sejarah, dikeluarkannya Resolusi Jihad NU, merupakan hasil rapat para kiai pesantren konsul NU se-Jawa dan Madura, 21-22 Oktober 1945 di gedung Jalan Bubutan VI/2 Surabaya. Di lokasi ini, kini berdiri Prasasti Monumen Resolusi Jihad fii Sabilillah NU.
Fatwa Djihad, ”Hoekoemnja memerangi orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardoe ‘ain bagi tiap2 orang Islam jang moengkin meskipoen orang fakir. Hoekoemnja orang jang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplot2nja, adalah mati sjahid. Hoekoemnja orang jang memetjahkan persatoean kita sekarang ini wadjib diboenoeh.”
Fatwa KH Muhammad Hasyim Asj’ari, 17 September 1945, menjadi pijakan para alim ulama se-Jawa dan Madura, yang melahirkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Para santri yang sebelumnya digembleng di masa pendudukan Jepang, seperti Pembela Tanah Air (PETA) dan Barisan Hizbullah, pada masa mempertahankan kemerdekaan itulah tampil secara nyata.
Dalam Barisan Hizbullah sejumlah santri – yang di kemudian hari tampil sebagai kiai dan tokoh masyarakat – digembleng di Cibarusa, Jawa Barat. KH Zainul Arifin, Konsul NU Betawi, ditunjuk menjadi Pemimpin Tertinggi Markas Barisan Hizbullah.
Selain itu, para kiai yang telah menjadi tokoh di masyarakat, berada pada satu kesatuan Barisan Hizbullah. KH Masjkur, dikenal sebagai anggota Badan Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersama KH Wahid Hasyim – untuk menyusun Konstitusi Negara, UUD 1945 – tampil menjadi Pemimpin Tertinggi Barisan Sabilillah. Dalam perkembangan berikutnya, pendirian Masjid Sabilillah di Kota Malang, tak lepas sebagai monumen perjuangan KH Masjkur.
Kita bersyukur, KH Masjkur akhirnya dianugerahi Pahlawan Nasional sebagai pengakuan negara atas perjuangannya pada 2019 tahun ini.
Momentum dikeluarkannya Resolusi Jihad yang dikeluarkan secara resmi oleh Nahdlatul Ulama, kini ditetapkan sebagai Hari Santri, dengan Ketetapan Pemerintah No. 22 Tahun 2015, ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober 2015.
Dengan Napak Tilas tersebut, PWNU Jawa Timur mengajak seluruh elemen-elemen bangsa untuk mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderungan-kecenderungan perkembangan di masa depan serta rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa. Nahdlatul Ulama diminta untuk mengambil inisiatif bagi terwujudnya forum tersebut.
Menjadi situs bersejarah perjuangan, Gedung MODT bisa diwujudkan menjadi Monumen Perjuangan Ulama. Sebagai situs bersejarah, dalam Monumen tersebut berisi fakta-fakta perjuangan berupa foto-foto, surat-surat penting, dan hal ihwal yang mencerminkan semangat nilai-nilai perjuangan pada kiai di masa Revolusi Nasional Indonesia.
Selain perlu adanya status kepemimpinannya oleh Badan Hukum organisasi Nahdlatul Ulama, juga perlu diusulkan agar situs bersejarah tersebut menjadi Cagar Budaya yang dilindungi Pemerintah Daerah setempat.
Dalam hal itu, PWNU Jawa Timur mengadakan koordinasi pada PCNU Sidoarjo, tempat lokasi situs bersejarah tersebut, dan PCNU Surabaya yang telah membeli aset tersebut di masa kepemimpinan KH Asep Saifuddin Chalim – putra kiai generasi pendiri NU KH Abdul Chalim Leuwimunding.
Alhamdulillah, negosiasi atas sertifikat kepemilikan gedung tersebut, yang selama ini disimpan Kiai Asep Saifuddin akhirnya berhasil diserahkan kepada PBNU melalui H Sholeh Hayat dari PWNU Jawa Timur pada Rabu, 13 November 2019. Dalam hal ini, pengelolaannya berada di tangan PWNU Jawa Timur. Dalam dokumen tersebut disebutkan “wakaf tanah dan bangunan Markas Perdjoeangan Oelama (MPO) Jawa Timur”.
Terwujud Monumen Perjuangan Ulama bukan sekadar menjadi saksi bisu, melainkan juga menjadi lokasi guna terus memompa semangat perjuangan dan penanaman rasa Nasionalisme para santri. Misalnya, setiap menjelang Hari Santri, para kiai mengadakan Sekolah Kebangsaan di lokasi tersebut.
Atau serangkaian kegiatan yang menyegarkan ingatan kolektif Bangsa Indonesia akan perjuangan kemerdekaan itu.
Dari situs bersejarah ini, “memancar energi hubbul wathan minal iman, cinta bangsa adalah bagian dari iman, yang tidak pernah kendur hingga penjajah mundur”. Di sinilah, Ketua PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar menginginkan agar di gedung tersebut menjadi tempat penggemblengan spiritual kader-kader NU di masa depan. Misalnya, menjadi tempat untuk tirakatan, istighotsah yang sifatnya sebagai proses penguatan kerohanian.
Semoga gedung itu menjadi Monumen Perjuangan Ulama. Berfungsi benar-benar mampu menjawab tantangan zaman bagi generasi muda NU di masa depan. Menjadi tempat kunjungan wisata sejarah bagi kaum santri, para pelajar kita, guna menanamkan nilai-nilai perjuangan dan kecintaan terhadap bangsa dan Negara kita.
*) Dipetik dari editorial Majalah AULA edisi Desember 2019, dalam rubrik “Iftitah” oleh Riadi Ngasiran.