Oleh: Sigit Gunawan*
Santri diajarkan taat oleh kiainya dengan cara melawan logika. Hal itu bukan tanpa sebab, umumnya pada masa awal pendidikan, logika santri masih belum benar. Bila diibaratkan, kiai adalah tukang kebun yang telah paham betul dengan tanamannya, sedangkan santri seorang bocah yang belum begitu mengerti banyak hal.
Ketika santri melihat buah anggur di kebun yang masih muda dan warnanya terlihat hijau segar, santri ingin memintanya, tapi diberi tahu oleh kiai kalau anggur itu masih muda dan rasanya tidak enak. Masih asam. Tetapi santri tidak percaya karena warnanya begitu menarik. Begitulah perumpamaan logika seorang santri.
Jadi, tujuan kiai adalah mengajarkan ketaatan dan mengalahkan logika santri sebagaimana Nabi Ibrahim mampu mengalahkan logika dan taat pada perintah Allah saat diperintah menyembelih anaknya, Nabi Ismail.
Sebagaimana juga Ibu Nabi Musa mampu mengalahkan logikanya taat pada Allah dengan merelakan menghanyutkan bayinya ke sungai Nil lewat peti. Dan sebagaimana ketaatan Nabi Nuh saat disuruh membuat kapal oleh Allah yang tidak tahu untuk apa dibuat.
Anomali Logika
Masih ingatkah kisah Iblis dan Adam di Surga? Ketika Allah memerintahkan Iblis bersujud kepada Adam. Secara logika tentu tidak masuk akal. Iblis yang sudah ratusan ribu tahun lebih dahulu mengabdi kepada Allah, bahkan tidak ada malaikat yang mampu menandingi Iblis dalam pengabdiannya. Sebagai makhluk termulia penghuni surga serta tempat rujukan masalah dari para malaikat, tiba-tiba diperintah bersujud kepada Adam; makhluk yang baru diciptakan dari tanah dan belum punya karir apa-apa.
Logika Iblis tidak bisa menerima hal itu. Iblis tidak tahu rahasia di balik perintah Allah, Iblis tidak tahu kalau dari keturunan Adam kelak akan ada makhluk termulia, makhluk sebagai rahmat semua alam dan sebagai kekasih Allah. Iblis tidak pernah tahu maksud tersebut.
Dalam praktiknya, di pesantren banyak sekali hal yang berhubungan dengan kisah Iblis tersebut. Santri yang taat pada kiai dan mampu mengalahkan logikanya akan mendapat kebaikan dan kemanfaatan yang luar biasa. Sebaliknya, santri yang menuruti logika dan ego, niscaya akan kehilangan segalanya.
Belajar dari Mbah Mustajab
Sebagai contoh ketaatan santri atas kiai bisa ditemukan dari sosok Mbah Mustajab. Mustajab [muda] adalah santri Pondok Pesantren Langitan Tuban. Istimewanya, yang bersangkutan pertama kali nyantri hingga tamat dari pesantren hanya disuruh angon jaran (mengembala kuda).
Mustajab [muda] ini santri yang ketaatannya sangat luar biasa. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan sang kiai.
Suatu ketika, Sang Kiai mendapati nasi jatah makan Mustajab [muda] masih utuh di kamarnya, tidak dimakan. Kemudian sang kiai bertanya “Mustajab, kenapa nasinya tidak dimakan?”
“Karena kiai tidak memerintahkan saya untuk memakannya,” jawab Mustajab muda singkat. Dari kejadian ini sang kiai memberi perhatian khusus kepadanya.
Sampai suatu ketika, setelah bertahun-tahun Mustajab nyantri, Mustajab [muda] dipanggil oleh sang kiai untuk mengantarkan sepucuk surat kepada seorang kiai pimpinan pesantren yang ada di Gondang Legi Prambon Nganjuk dengan membawa kuda yang biasa digembalakan.
Singkat cerita, berangkatlah Mustajab [muda] ke pesantren dimaksud dengan membawa kuda. Setelah sampai di kediaman sang kiai, surat itu diserahkan. Kiai yang menerima langsung membaca surat tersebut. Ternyata isi surat tersebut berbunyi: “Jodohkanlah putrimu dengan anak yang membawa surat ini.”
Sang kiai kemudian meneliti kapan surat tersebut ditulis. Ternyata saat diterima sudah lewat sepuluh hari. Kemudian kiai bertanya pada
Mustajab:
“Kamu ke sini pakai apa?”
Mustajab menjawab “Membawa kuda kiai.”
“Membawa kuda, kenapa lama sekali sampai sepuluh hari?” tanya kiai kembali.
“Ya, sebab kiai saya hanya bilang bawalah kuda, bukan naikilah kuda. Maka kuda itu saya tuntun.”
Mendengar jawaban dari sang santri, kiai mengakui dan membenarkan isi surat tersebut, sebab ketaatan Mustajab yang luar biasa.
Kemudian Mustajab dinikahkan dengan putri dari kiai Gondang Legi Nganjuk tersebut. Selang beberapa waktu setelah menikah, mertua Mustajab meninggal dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Bukan hanya kesedihan yang melingkupi hati Mustajab. Kini dia juga dilanda kebingungan yang luar biasa. Sebab mertuanya memilik santri yang banyak, sedangkan dia tidak bisa ngaji karena selama di Langitan hanya menggembala kuda.
Di saat yang genting itu, akhirnya diambillah inisatif, Mustajab mengumumkan kepada semua santri, bahwa para santri yang sudah khatam kitab besar kepada mertuanya ingin dites oleh dirinya. Padahal sebenarnya Mustajab ingin belajar dari mereka.
Hanya bermodalkan mendengar, setiap kitab yang dibaca santri di hadapan Mustajab telah dikuasai dan hafal semuanya. Padahal mereka yang membacakan kitab saja belum tentu faham dengan isinya.
Inilah yang dinamakan barokah dari ketaatan pada kiainya dulu.
*Disarikan dari ceramah almaghfurlah KH Abdul Aziz Manshur Pacul Goang Jombang.