oleh: Muhammad Syamsudin al-Baweany
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
DAKWAH BIL-QALAM: Manusia adalah makhluk ekonomi. Untuk kepentingan ekonomi, ia kadang berusaha melakukan penguasaan. Akibatnya muncul istilah monopoli, oligopoli, dan lain sebagainya. Namun, manusia juga sebagai makhluk sosial.
Dengan sifat sosialnya ia melakukan kontak antara satu dengan yang lain. Interaksi ini melahirkan suatu istilah yang disebut tradisi, etika, dan tata krama. Karena interaksi sosial ini pula, muncul perimbangan kebutuhan antara satu dengan yang lain.
Muncul pula istilah pemimpin kelompok, pemimpin klan, sesepuh, pinisepuh, dan sejenisnya. Semuanya adalah akibat interaksi sosial.
Karena dua faktor ekonomi dan sosial ini pula, lahir yang dinamakan ilmu manajemen. Namanya adalah manajemen risiko, manajemen konflik, dan seterusnya.
Dalam dunia pemasaran dan strategi menggali keuntungan, lahir istilah manajemen pemasaran dan manajemen pengelolaan sumber daya. Apa makna dari manajemen sumber daya ini?
Kalau kita buka-buka literasi manajemen, dalam sebuah perusahaan, sumberdaya itu tidak hanya berwujud sebagai sumber daya alam saja. Ada kalanya juga berupa sumber daya manusia.
Sumber daya manusia ini juga tidak hanya berasal dari lingkungan dalam perusahaan semata, melainkan juga lingkungan sekitar lokasi usaha. Itulah sebabnya ada istilah Manajemen Human Resource Development (Management HRD).
Berangkat dari latar belakang pemikiran inilah, manajemen HRD itu harus bekerja dan melakukan pengelolaan, termasuk rotasi karyawan sehingga tercipta iklim dan suasana baru. Sebenarnya untuk apa iklim baru itu diciptakan? Tidak ada pilihan jawaban lain yang lebih tepat sebenarnya dibanding jawaban, bahwa semua itu ada pada fokus “penguasaan”.
Nah, di dalam Islam pun, sebenarnya juga diajarkan mengenai hal itu. Hanya saja tidak disampaikan secara terang-terangan, melainkan secara eksplisit (tersirat) saja. Karena perbuatan baik dan buruk senantiasa bergantung pada niat.
Dalam syariat, istilah itu tidak disampaikan dalam bentuk menguasai, melainkan membina, mengarahkan, menunjukkan, memberi kabar gembira, menyantuni, menafkahi dan lain sebagainya. Inilah indahnya syariat Islam itu. Syariat menempatkan pembinaan pada sisi positif manusia dengan bekal dasar yaitu berangkat dari niat.
Sebuah contoh syair Ibn Al-Jauzy radliyallahu ‘anhu yang sebenarnya syair ini mengadopsi maqalah dari Sayyidina Ali karamallahu wajhah, sebagai berikut:
تفضل على من شئت واعن بأمره … فأنت ولو كان الأمير أميره
وكن ذا غنى عن من تشاء من الورى … ولو كان سلطاناً فأنت نظيره
ومن كنت محتاجاً إليه وواقفاً … على طمع منه فأنت أسيره
Artinya:
“Berikanlah manfaat (pertolongan) kepada siapapun, dan berilah pertolongan kepadanya, maka niscaya kamu, meskipun ia seorang pemimpin, kamu adalah pemimpin dia (yang sebenarnya).
“Jadilah kamu seorang yang bersifat mencukupkan diri dari seseorang yang kamu kehendaki bantuannya, meskipun ia seorang raja, maka kamulah sebenarnya yang akan menjadi pengarahnya.”
“Dan sebaliknya, jika kamu menjadi seorang yang butuh kepadanya dan senantiasa berharap akan belas kasihnya, maka kamu adalah layaknya tawanan bagi dirinya.” (Shaidu al-Khathir, Juz I, halaman 117)
Maqalah di atas, sebenarnya dapat dipahami berdasarkan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai berikut:
من أحب شيأ فهو أسيرو عبد له
Artinya:
“Barangsiapa mencintai sesuatu, maka orang itu menjadi tawanan dan budaknya.” (Kasyfu al-Burhan fi Syarhi Risalati Al-Syeikh Arsalan li Hasan ibn Musa al-Kurdi, halaman 33).
Dalam suatu maqalah yang terdapat dalam Kitab Ta’limu al-Muta’allim, Sayyidina Ali karramallahu wajhah, juga pernah mengatakan :
اَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِى حَرْفًا وَاحِدًا. اِنْ شَاءَ بَاعَ وَاِنْ شَاءَ اَعْتَقَ وَاِنْ شَاءَ اِسْتَرَقَّ.
Artinya:
“Aku adalah hamba orang yang telah mengajariku satu hurut, maka selanjutnya terserah dia apakah akan menjual aku atau memerdekakanku.” (Ta’limu al-Muta’allim li al-Zarnuji, halaman: )
Kemampuan untuk membatasi kebutuhan diri dengan apa yang telah dimilikinya tanpa harus melihat milik orang lain, maka itu adalah kekayaan yang terkandung dalam dirinya. Jika seseorang sudah tidak membutuhkan milik orang lain lagi, maka berarti ia telah sebanding dengannya.
Lain halnya, bila ia membutuhkan kepada orang lain, maka ia layaknya tawanan baginya. Karena apa yang ia lakukan seolah harus mendapat perkenan darinya. Jadilah, ia seorang yang tidak merdeka dalam melakukan segala hal.
Kondisi ini akan berlangsung sebaliknya, bila seseorang justru menjadi dibutuhkan oleh orang lain. Meskipun yang membutuhkan itu adalah seorang raja, namun karena faktor kebutuhan itu, hakikatnya tanggallah status rajanya itu dan beralih secara maknawi kepada pihak yang dibutuhkan.
Inilah manajemen dalam Islam itu jika ditilik dari sisi adabu al-ijtima’iy (etika sosial). Dalam konsep zakat pun pada dasarnya ada maksud semacam. Misalnya, dijadikannya asnaf orang yang baru masuk Islam sehingga berhak menerima zakat.
Al-Qur’an membahasakannya sebagai al-muallafati qulubuhum, yang dilihat dari sisi arti bahasanya bermakna sebagai pihak yang dijinakkan hatinya. Dengan kata lain, kalimat terakhir ini bernuansa manajerial konflik dibanding hanya sekedar penyampaian zakat semata. Karena pihak yang baru masuk Islam, masih rawan kembali kepada agamanya disebabkan karena kefakiran akibat pemboikotan yang mungkin terjadi terhadapnya oleh teman-teman seaqidah dengannya, sebelumnya.
Wallahu a’lam bi al-shawab..
Muhammad Syamsudin al-Baweany
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.