Catatan Kepergian KH Maftuh Said, Penyemai Bibit Penjaga al-Quran

0
1497
Bagikan Sekarang

Oleh: H Nur Hidayat*

Saya tidak terlalu lama mengenal sosok KH Maftuh Said. Juga tidak terlalu mendetail dalam mengenali kepribadian beliau. Tidak lebih dari 30 kali sowan dan bertatap muka, selama tiga tahun sambang anak sulung yang mondok di Pondok Pesantren Al-Munawwariyah, Sudimoro, Bululawang, Malang.

Jangan pula dibayangkan sowannya bisa berdialog intensif atau jagongan lama dengan beliau. Sebab, di pesantren beliau, orang tua atau wali santri hanya bisa sambang dua kali dalam sebulan. Tiap minggu kedua dan keempat setiap bulan.

Saat jadwal sambangan itulah dilaksanakan pisowanan agung alias open house. Kiai Maftuh biasanya duduk santai di teras masjid, dan ratusan wali santri pun sowan secara bergelombang di teras masjid tersebut.

Dari sedikit yang saya catat dan rekam dalam memori, beliau orang yang easy going. Prinsip “yassirû wa lâ tu’assirû”, tampaknya melekat dalam diri beliau. Khas karakter Kiai Sepuh di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Beberapa kali saya mendengar wali santri yang mengeluh tentang kondisi anaknya yang bandel, lèlèt, dan semacamnya. Beliau selalu merespons secara enteng dan diselingi humor. Sesekali, wali santri juga diberi ijazah doa untuk “melunakkan hati” sang anak.

Ketika ada seorang wali santri yang memuji peningkatan jumlah santri dan perkembangan pesantren yang dirintis beliau sejak 1983 sebagai pesantren tahfidz Al-Quran untuk anak-anak, beliau menjawab enteng juga. “Sak janè santri kulo niku pancet. Cuma nèk mbiyèn arèkè cilik-cilik, sak iki arèkè tambah gede.”

Tapi, sikap easy going itu tidak berlaku jika sudah menyangkut kedisiplinan. Dua kali saya memohonkan izin anak saya utk pulang di luar jadwal liburan karena ada acara keluarga, beliau selalu memberi tenggat waktu yang sangat pendek. Hanya diberi izin untuk menghadiri acara inti. Selebihnya, diminta segera balik ke pondok.

Kepada wali santri dan santri, beliau sering memberi motivasi agar segera menyelesaikan hafalan Al-Quran masing-masing. Untuk menambah motivasi, beliau sering mendorong orang tua santri agar menghadiahi umroh bagi anak yang telah menyelesaikan tahfidznya.

Keikhlasan Kiai Maftuh dalam mengabdi kepada umat, saya catat ketika tahun kemarin beliau “mendadak” mengubah jadwal haul dan wisuda tahfidz yang biasanya berlangsung pada bulan Desember menjadi lebih cepat dua bulan (maju ke Oktober 2016). Belakangan saya baru sadar, perubahan jadwal itu dibarengkan dengan pelaksanaan Konferensi Cabang NU Kabupaten Malang yang berlangsung di Ngantang.

Dengan memajukan jadwal haul dan wisuda, Yai Tuh sepertinya ingin menghindar dari arena konferensi yang sudah menyebut nama beliau sebagai figur yang layak menjadi Rais Syuriah. Faktanya, forum Ahlul Halli wal Aqdi kemudian memang memilih beliau menjadi Rais Syuriah PCNU Kab. Malang Masa Khidmat 2016-2021.

Saya tidak tahu persis, apa yang beliau pikirkan saat itu. Juga tidak pernah bertanya soal faktor yang memengaruhi perubahan jadwal haul dan wisuda itu kepada beliau. Sebab, saya hanyalah seorang wali santri biasa, di tengah ribuan wali santri lain yang secara personal mungkin lebih dekat dengan beliau.

Saat mendengar kabar kepergian beliau, Ahad (20/8/2017) malam lalu, saya yakin Alloh SWT sangat menyayangi Yai Tuh. Menjelang tahun politik seperti saat ini, mungkin Alloh SWT lebih ngèman Yai Tuh dengan memanggil beliau menghadap ke hadirat-Nya.

Sugeng tindhak, Kiai…
Semoga kami bisa meneladani ketulusan panjenengan.

*Wakil Sekretaris PWNU Jatim

Leave a reply