Taktik Politik Moderat ala NU

0
782
Bagikan Sekarang

Tatkala dikatakan bahwa pada masa Orde Lama NU cenderung “mendukung” Nasakom-nya Soekarno, KH. Saifuddin Zuhri secara bijak menjawab: “Janganlah dilupakan bahwa NU berjuang dalam situasi yang paling sulit akibat pemberontakan PRRI, akibat pembubaran Masyumi, akibat berlakunya hukum SOB di seluruh negeri, aki­bat krisis yang berkepanjangan. Maka bagaimanapun anti-komunis, namun berjuang menghadapi PKI harus memilih teknik perjuangan dengan memperhi­tungkan kesabaran, kewaspadaan dan kebijaksanaan. Ada norma-norma perjuangan di waktu sulit dan ada pula norma perjuangan “di bawah sinar bulan purnama”. NU sangat waspada terhadap jebakan dan perangkap PKI yang selalu memancing­mancing NU agar menempuh jalan ekstrem dan main radikal. Maksud PKI, agar NU bisa disudutkan dan mudah dipukul, akhirnya bisa dibubarkan seperti halnya Masyumi.”

Inilah strategi politik ala NU. Luwes dan akomodatif. Meskipun beberapa Indonesianis dan kaum modernis menuduh NU terlalu komporomistis-pragmatis dan mbunglon (oportunis). Bagi penulis, tidak! inilah strategi politik kaum Sunni, melihat situasi dan posisi, mempertimbangkan efek mashlahah dan mafsadah, serta yang paling penting tetap di jalur perjuangan. Politik harus mempertimbangkan betul kapan menyerang dan kapan bertahan. Jika mengabaikan “pembacaan” ini, sekali pukul saja NU bisa keok.

Melihat perjalanan politik NU, ada yang menarik dari perkataan KH. Achmad Siddiq, maestro gerakan kembali Khittah 1926 itu. Ketika ditanyakan tentang makna NU kembali Khittah 1926, KH. Achmad Siddiq menyatakan: Khittah menegaskan kedudukan NU sebagai jam’iyyah diniyyah atau organisasi keagamaan, bukan organisasi atau partai politik,  NU sama sekali tidak mengharamkan politik dan tidak melarang war­ganya berpolitik. Bagi NU politik adalah sangat pen­ting dalam rangka membangun kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sebagaimana ekonomi, bisnis dan kebudayaan. NU menghargai warganya yang berpo­litik dan berbisnis. Hanya mereka dipersilahkan mela­kukannya di dalam organisasi politik atau organisasi bisnis, tidak di dalam NU, karena NU bukan partai politik juga bukan organisasi niaga. NU adalah ibarat kereta api yang sudah jelas trayeknya, bahkan relnya, serta persyaratan untuk menjadi petugas-petugasnya. NU bukan taksi yang bisa dibawa ke mana saja oleh penumpang yang membayarnya. Orang-orang yang mengurusi NU boleh saja berganti. Kebijakan bisa saja diubah dan disempurnakan. Tapi trayek NU sebagai organisasi keagamaan tidak bisa diubah.

Kiai-­kiai NU telah mengajarkan banyak hal: nasionalisme, patriotisme, rasionalitas, progresivitas, komplekitas pengetahuan, ketaatan pada hukum dan yang lebih penting; kesantunan!

 

Sumber: Rijal Mumazziq Z

Editor: Saiful

 

Leave a reply