Nabi dan Standar Moral Ulama

0
622
Bagikan Sekarang

Oleh: Dr Abdul Moqsith Ghazali*

Suatu waktu Umar ibn Khattab berkata pada Nabi SAW: “Engkau lebih aku cintai ketimbang keluargaku.” Nabi SAW menjawab: “seharusnya aku lebih kamu cintai ketimbang dirimu sendiri.” Dan Sayyidina Umar pun meralat ucapannya. Lalu turunlah wahyu al-Quran yang menegaskan pentingnya mendahulukan Nabi SAW ketimbang diri umat Islam sendiri (al-nabiyyu awla bi al-mu’minina min anfushim).

Nabi SAW layak diperlakukan demikian, karena beliau memiliki budi pekerti mulia. Allah memuji keagungan akhlak Nabi (innaka la’ala khuluqin azhim). Nabi memang difitnah, tapi Nabi tak memfitnah; Nabi memang dicaci, tapi Nabi tak mencaci. Nabi SAW bersabda: “Aku diutus bukan sebagai tukang laknat.”

Mari kita renungkan kisah ini, kisah mengenai seorang Yahudi buta yang setiap hari mencaci maki Nabi SAW secara semena-mena. Apa Nabi SAW menghardik dan mengolok-olok Yahudi buta itu dengan “buta mata, buta hati”? Tidak. Nabi SAW justru datang memberinya makanan dengan penuh kasih sayang. Disuapinya Yahudi buta itu dengan penuh kelembutan.

Itulah akhlak Nabi. Walau tak mungkin menjangkau akhlak Nabi, akhlak para ulama seharusnya berada hanya beberapa tingkat di bawah akhlak Nabi SAW. Standar moral ulama memang di atas rata-rata. Karena itu, tak semua orang bisa disebut ulama.

Jika standar moral keulamaan sama saja dengan standar moral orang kebanyakan, lalu apa beda antara ulama dan yang bukan ulama?

*Dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Leave a reply