KH Hasan Anwar, Sejawat Muassis NU

0
1775
Bagikan Sekarang

Namanya mungkin tidak seterkenal KH Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, dan KH Wahab Chasbullah. Tapi, kiprahnya sangat dekat dengan ketiga tokoh pendiri atau muassis NU. Ia adalah teman sekaligus santri dari ketiga ulama besar tersebut.

Ia mempunyai andil sangat besar dalam membantu mendirikan jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dan namanya hingga kini, sangat harum di Kabupaten Grobogan, Jateng. Nama kecilnya adalah Sarman.

Beliau dilahirkan pada tahun 1878 M, dari pasangan Syarif dan Salimah, petani kecil di Desa Ngluwuk, Dempet, Kabupaten Demak. Sarman memiliki empat orang saudara, yakni Sukir, Mataham, Sagirah, dan Sijah. Sarman merupakan nama pemberian kedua orang tuanya.

Namun, saat mondok di Tebuireng, namanya berubah menjadi Hasan Anwar. Nama itu diberikan langsung oleh Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari atas bantuannya dalam menghadapi para perusuh di sekitar pesantren.

Bela Mbah Hasyim
Awalnya, ia merasa prihatin yang mendalam atas banyaknya hinaan dan ejekan yang diterima KH Hasyim Asy’ari. Sebab, hampir setiap saat ulama pendiri jamiyah NU itu dilempari dengan kotoran manusia. Jalan-jalan di sekitar Pesantren Tebuireng selalu dipenuhi dengan duri.
Atas hal itu, Sarman memberanikan diri memohon izin kepada KH Hasyim Asy’ari untuk menghadapi para perusuh itu. Namun Mbah Hastim tidak mengizinkan. Ia pun bersabar dan menunggu perintah atau izin.

Apa hendak dikata, saat izin belum juga diberikan dan kondisi terus genting, terjadilah peristiwa yang membuat Sarman marah. Saat malam hari, ia keluar asrama pesantren untuk ke masjid.
Jalan yang akan dilewati Mbah Hasyim ia bersihkan. Saat itulah sekelompok preman dan perusuh menantang dirinya. Maka, dengan prinsip ‘lawan jangan dicari, dan kalau ketemu musuh maka jangan lari’, ia pun melawan perusuh.

Dalam perkelahian itu, sebanyak 12 orang perusuh tewas di tangannya. KH Hasyim yang kaget mendengar kegaduhan di luar, segera menemui. Mbah Hasyim mendapati tubuh Sarman bersimbah darah, dan sebanyak 12 orang tergeletak tak bernyawa di sekelilingnya.
Sarman tidak terluka. Hanya luka-luka dari perusuh itulah yang membuat tubuhnya berlumuran darah. Sarman menyampaikan bahwa dirinya membela diri, karena sedang membersihkan kotoran manusia dan duri di sepanjang jalan, dan tiba-tiba diajak berkelahi para perusuh.

Nama Hasan Anwar
Menyaksikan hal itu, KH Hasyim Asy’ari kemudian memerintahkan para santri untuk segera menguburkan jenazah para perusuh dalam satu lubang. Dan sejak kejadian tersebut, Mbah Hasyim menjuluki dan memberinya nama Hasan Anwar, yang berarti lelaki yang baik hati dan selalu bercahaya dalam kegelapan.

Ia adalah santri generasi pertama di Tebuireng. Hasan Anwar juga berteman baik dengan Maksum (KH Maksum), pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, Jateng. Di Tebuireng, ia belajar berbagai ilmu pengetahuan agama, mulai dari fiqih, tafsir, nahwu, dan lainnya.

Namun, di saat KH Hasyim berhalangan, dirinya menjadi badal (pengganti) untuk mengajar santri dan rekan-rekannya. Sebelum mondok dan membantu di Pesantren Tebuireng, Hasan Anwar mondok di berbagai pesantren di Jawa Tengah.

Karena itu, tak heran ia banyak dimintai bantuan KH Hasyim Asy’ari, termasuk saat mendirikan NU pada 31 Januari 1926. Ia tinggal di Tebuireng selama beberapa tahun. Selepas dari pesantren legendaris tersebut, Hasan Anwar melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Jesromo Lumajang, dan Cempaka di Surabaya di bawah asuhan KH Manshur.
Selepas dari kedua pesantren itu, Hasan Anwar meneruskan ke Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, yang diasuh KH Kholil. Tak kurang dari delapan tahun ia menuntut ilmu dan mengabdi di pesantren Bangkalan ini. Setelah itu, ia meneruskan pendidikan di Makkah, selama lebih kurang tiga tahun.

Belajar di Tanah Suci
Di kota suci tersebut ia belajar langsung kepada para ulama terkenal dari Indonesia yang menjadi guru di Masjidil Haram, seperti Syekh Abdullah Sunkara, Syekh Ibrahim al-Huzaimi dan Syekh Manshur. Setelah dirasa cukup, ia pun kembali ke Tanah Air, ke kampung halamannya di Desa Ngluwak, Dempet, Demak.

Ternyata ayahandanya sudah wafat, sedangkan ibunya ikut dengan saudara kandung Hasan Anwar yang menikah dengan warga Gubug, Purwodadi, Grobogan. Di Gubug ini, KH Hasan Anwar membantu Kiai Jalil (Jalal) untuk mengajar mengaji warga sekitar di mushala, tepatnya di sebalah timur Pasar Gubug.

Melihat ketekunan KH Hasan Anwar dalam mengajar mengaji, Kiai Jalil berkenan mengambil menjadi menantu. Ia pun menikah dengan salah seorang putri Kiai Jalil. Hingga akhir hayatnya, KH Hasan Anwar menikah dengan tiga orang istri, yakni Kalimah binti Kiai Marwi, Maemunah binti Kiai Samsuri, dan Muntamah binti Kiai Abdul Jalil (Jalal).
Pernikahannya dengan Kalimah tidak dikaruniai anak, sedangkan dengan Maemunah memiliki tujuh orang putra-putri (Mahfudhoh, Mansuron, Sarijah, Ruqoyah, Saerozi, Juned, dan Romlah). Adapun buah pernikahan dengan Muntamah mendapat empat putra-putri, yakni Ahmad Syahid (yang kelak menjadi penerus perjuangan KH. Hasan Anwar), Zaenudin, Khumaidi, dan Saidah.

Pejuang Kemerdekaan
Kebencian KH Hasan Anwar terhadap penjajah Belanda sudah memuncak. Ia tak tahan melihat rakyat Indonesia dihina dan dijajah. Bersama para santri di Gubug, ia menyerang Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, khususnya di Grobogan.

Belanda yang mengetahui maksud tersebut berusaha membujuk dan bekerja sama. Ajakan itu ditolak, dan Belanda pun marah. Mereka ingin menjeblos KH Hasan Anwar ke penjara. Karena tahu kalau dirinya akan ditangkap Belanda, ia pergi ke pesantren di daerah Klambu.

Bersama sejumlah santri dan laskar fi sabilillah, KH Hasan Anwar menyusun kekuatan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Ratusan pasukan Belanda terbunuh.
Sayang, kekuatan tidak seimbang. Pertempuran yang terjadi di dekat markas Belanda itu, beliau gugur bersama 19 orang laskar fi sabilillah. Beliau wafat sebagai syuhada dengan menyungging senyum.

Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahi dengan gelar Pahlawan Pejuang Kemerdekaan. Namanya sangat harum hingga saat ini. Masyarakat Tionghoa di sekitar Gubug sangat mengagumi ketokohannya. Sebab, atas jasanya, warga Tionghoa merasakan hidup damai dan tenteram dari gangguan perampok.

Banyak cerita karomah seputar KH Hasan Anwar yang melegenda di Gubug. Konon, ia memiliki harimau. Setiap kali bersilaturahim dengan gurunya, Syekh Ibrahim, harimau itu selalu menyertai. Ia bahkan mengendarai harimau tersebut.
Tak jarang, Syekh Ibrahim mengingatkannya untuk tidak menambatkan harimau itu secara sembarangan, sebab khawatir akan melukai para santri. Namun tak banyak yang melihat harimau itu secara kasat mata. Hanya orang tertentu yang bisa menyaksikan. Wallahu a’lam. (Rep/saiful)

Leave a reply