Alissa Wahid Beberkan Kemunculan Gerakan Radikal

0
641
Bagikan Sekarang

Surabaya — Radikalisme tidak muncul begitu saja. Kesenjangan sosial adalah salah satu penyulutnya. Karena itu, pembangunan merata, karena ketidakmerataan pembangunan bisa menjadi bibit kesenjangan sosial.

Masalah tersebut menjadi salah satu tema yang mencuat pada diskusi di gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair Kampus B Dharmawangsa, Senin (16/1). Acara yang diadakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Surabaya bersama Jaringan Gusdurian tersebut dihadiri sejumlah tokoh.

Putri pertama mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada Munawwarah alias Alissa Wahid mengemukakan kondisi keberagaman di Indonesia dan Myanmar.

Menurut dia, kondisi dua negara itu memiliki kesamaan. Hanya skala dan kemasannya yang berbeda. Di dua negara yang sedang dilanda panasnya perbedaan tersebut, ada tiga pola kesamaan yang bisa dibaca.

Di Myanmar, terutama sejak kasus Rohingya merebak, ada larangan membangun dan merenovasi rumah ibadah milik agama tertentu. Ada pula larangan bergaul dengan etnis tertentu. Bahkan, muncul larangan berbelanja dan bertransaksi dengan anggota etnis tertentu. Pemerintah lokal di sana juga terus didorong agar memprioritaskan mayoritas.
“Sedikit banyak, pola-pola ini sudah terjadi di Indonesia,” kata Alissa. Jadi, ada semacam penyakit menular yang disebut Alissa sebagai “mayoritarianisme”. Yakni, masyarakat mayoritas yang senantiasa merasa terancam oleh kelompok yang lebih kecil.
Dari sinilah muncul intoleransi yang kemudian berkembang menjadi radikalisme. ’’Terorisme itu menyerang orang lain di luar kelompoknya, sedangkan radikalisme itu mengisolasi sebuah kelompok dalam kehidupan sosial,’’ jelasnya.

Selain Alisaa, hadir pula Kapolrestabes Surabaya Kombespol M. Iqbal, Komandan Distrik Militer Surabaya Timur Letkol Inf Dodiet Lumwartono, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Surabaya Muhibbin Zuhri, Wakil Ketua DPRD Surabaya Masduki Toha, sosiolog dari FISIP Unair Novri Susan, dan dosen Fakultas Adab UINSA Imam Ghozali Said.

Ketua Lakpesdam NU Surabaya Imam Syafii menyatakan, Surabaya Outlook bertujuan mengetengahkan kembali temuan-temuan dari beberapa penelitian. Terutama tentang perkembangan intoleransi dan radikalisme di kalangan remaja.

Imam menjelaskan, studi yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengambil sampel di enam kota besar di Indonesia. Salah satunya adalah Surabaya.

Sebagian besar pelajar muslim menyatakan tidak setuju pada tindakan intoleransi. ’’Tapi, ketika ditanya apakah setuju mengucapkan Natal kepada penganut agama lain, mereka bilang tidak setuju,’’ katanya.

Sementara itu, Wahid Institute melakukan survei pada pelajar yang menjadi anggota Rohis (Rohani Islam) di sekolah-sekolah. Hasilnya, benih-benih kekerasan ternyata mulai tertanam pada benak siswa tersebut.
Itu ditunjukkan dengan persetujuan mereka terhadap tindak kekerasan atas nama agama yang terjadi di berbagai daerah. ’’Yang terpengaruh itu justru anak-anak yang punya nilai akademik tinggi,’’ ujar alumnus Universitas Jember tersebut.

Dalam diskusi itu, Pemkot Surabaya juga setuju memerangi intoleransi dan radikalisme. Salah satu caranya dengan sebisanya menekan kecemburuan sosial dan memeratakan pembangunan.
Juga, mencegah paham-paham radikalisme yang disebarkan beberapa oknum. Termasuk di lembaga pendidikan. ’’Jika Bapak-Ibu menemukan orang-orang seperti ini, laporkan ke kami. Nanti kami tegur dinasnya,’’ kata Masduki Toha, wakil ketua DPRD Surabaya.

Sementara itu, Kombespol Mohammad Iqbal memaparkan, penegak hukum tidak boleh gamang bertindak. Misalnya, kalau ada ormas yang melakukan gerakan meresahkan, polisi hendaknya langsung mengambil tindakan. ’’Jadi, tidak boleh lagi ada aparat loyo atau tidak mau menindak,’’ tegasnya. (s@if)

Sumber: Jawa Pos

Leave a reply